Demo Massal No Kings, 7 Juta Warga AS Tolak Kepemimpinan Donald Trump

Penyelenggara menyebut aksi ini melibatkan hampir 7 juta warga, naik sekitar 2 juta dibandingkan protes serupa pada Juni 2025. Ini menjadi satu di antara mobilisasi publik terbesar menentang Trump selama dua masa jabatannya.

Beberapa analis menilai demonstrasi "No Kings" berpotensi menjadi yang terbesar dalam sejarah modern AS.

Partisipasi yang masif menandakan tingkat kekecewaan masyarakat terhadap arah kebijakan pemerintahan saat ini. Jumlah peserta yang mencapai jutaan orang menjadi sorotan di panggung politik global.

Jika dibandingkan dengan aksi besar sebelumnya, skala "No Kings" melampaui Women's March 2017 yang diikuti 3,3–4,6 juta orang dan protes anti-perang Vietnam pada Oktober 1969 yang melibatkan ratusan ribu orang.

Demonstrasi kali ini benar-benar mencatatkan momen bersejarah dan menegaskan kekuatan suara publik.

Esensi protes "No Kings" adalah menolak kebijakan Presiden Trump yang dianggap otoriter. Para pengunjuk rasa mengecam pelemahan norma demokrasi dan menyuarakan kemarahan terhadap ancaman terhadap prinsip dasar negara.

Isu lain yang diangkat meliputi penggerebekan oleh Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), pengerahan Garda Nasional, serta pemotongan program federal seperti layanan kesehatan.

Aksi ini muncul dari kekhawatiran akan pergeseran menuju otoritarianisme yang bertentangan dengan konstitusi AS.

Slogan "No Kings" menekankan prinsip bahwa kekuasaan sejati berada di tangan rakyat.

"Tidak ada yang lebih Amerika daripada mengatakan, 'Kami tidak punya raja'," ujar Leah Greenberg, salah seorang pendiri Indivisible.

Pesan ini menjadi inti dari aksi yang melibatkan jutaan warga Amerika.

Demo berlangsung di semua 50 negara bagian, dari New York hingga Los Angeles, termasuk kota-kota kecil dan kawasan sekitar kediaman Trump di Florida.

Di Washington D.C., ribuan orang berbaris menuju Gedung Capitol, yang sempat ditutup selama minggu ketiga akibat kebuntuan legislatif.

Secara umum, demonstrasi berlangsung damai dan meriah. Para peserta membawa spanduk, balon raksasa bergambar Trump, dan mengenakan kostum kreatif untuk menarik perhatian.

Di Los Angeles, misalnya, bendera One Piece dikibarkan sebagai simbol perlawanan anti-pemerintah yang dikenal secara internasional.

Kendati sebagian besar damai, di pusat Los Angeles dilaporkan terjadi insiden ketika polisi menembakkan peluru tidak mematikan dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan.

Trump meremehkan aksi ini, menegaskan bahwa ia bukan raja, sambil membagikan video AI dirinya berperan sebagai raja.

Ketua DPR, Mike Johnson, menilai aksi tersebut sebagai "hate America rally" atau protes yang mengekspresikan kebencian terhadap Amerika.

Sumber: merdeka.com