Christian Hadinata Rindu Suasana Bulutangkis ala Kampung

oleh Yus Mei Sawitri diperbarui 04 Sep 2015, 15:17 WIB
SELEKSI - Christian Hadinata (belakang, empat dari kanan) bersama para peserta Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015. (Bola.com/Arief Bagus)

Bola.com, Kudus - Pandangan Christian Hadinata fokus menatap para peserta grand final audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 yang sedang bertanding di lapangan GOR Djarum, Jati, Kudus, Jumat (4/9/2015). Sesekali dia berbincang dengan para pelatih PB Djarum. Tak lama kemudian dia kembali menatap ke lapangan pertandingan. Christian memang bertugas menjadi pencari bakat, posisinya adalah koordinator.

“Rata-rata kekuatannya berimbang. Persaingannya cukup ketat,” kata Christian memgomentari para peserta audisi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Advertisement

Melihat anak-anak yang sedang berjuang memperebutkan beasiswa bulutangkis Djarum, Christian mengaku terkenang cerita masa kecilnya di kampung halamannya, Purwokerto. Layaknya anak-anak Indonesia pada masa itu, pria kelahiran 11 Desember 1949 tersebut juga gemar bermain bulutangkis. Tentu saja bukan di GOR megah, tapi di sebidang tanah kosong di samping SD Kristen 2 Purwokerto. Christian yang tercatat sebagai murid SD Kristen 1 Purwokerto juga ikut menikmati bermain bulutangkis di lapangan itu.

Raket yang mereka gunakan masih berbahan kayu. Untuk beli shuttlecock juga harus iuran. Pertandingan kadang dilaksanakan hingga malam hari, dengan penerangan lampu petromax. “Kalau lampunya meredup, harus diturunin terus di pompa lagi. Biasanya kami bermain 15 orang. Pertandingan seru, tapi kalau hujan ya bubar,” kenang pemain yang dikenal sebagai pemain ganda putra tangguh tersebut.

Keseruan ala kampung itu kini jarang bisa dinikmati. Dahulu, sangat mudah menemukan anak-anak yang bermain bulutangkis di jalan, tanah kosong, maupun lapangan. Antusiasme mereka biasanya makin tinggi jika ada wakil Indonesia yang juara All England, Olimpiade atau juara Thomas Cup dan Uber Cup. Jumlah anak yang bermain bulutangkis di jalan atau lapangan bisa naik dua kali lipat.

Padahal saat itu untuk menonton penampilan pebulutangkis Indonesia di luar negeri butuh perjuangan keras. Televisi masih jarang. Kalau pun ada gambarnya kurang jernih. Christian dan teman-temannya paling sering memantau kiprah pahlawan-pahlawan bulutangkis tersebut melalui siaran radio. “Ndengerinnya ramai-ramai. Seru banget. Paling senang ndegerin komentator olahraga legendaris, Bung Sambas,” kata Christian sambil tertawa

Christian tak lupa menceritakan tentang raket pertamanya. Dia baru benar-benar punya raket bagus saat duduk di bangku SMA. Raket penuh kenangan itu bermerek Supra, asli buatan Klaten Jawa Tengah. Pada masa itu raket merek itu lumayan mahal dan nyaris tak terjangkau kantong Christian.

Beruntung, Christian mendapatkan raket itu secara secara gratis. Hasil memenangi sebuah kejuaraan antarsekolah. Saking ngebet mengincar raketnya, Christian bermain sangat ngotot dan hasilnya sepadan.

“Dulu raket tak terbeli, mahal sekali. Belum lagi beli shuttlecock juga tidak murah. Sampai-sampai dulu kepikiran gantung raket dan pindah profesi jadi pesepakbola. Kondisi keuangan saya waktu itu tak bisa mengakomodir saya menjadi pebulutangkis. Beruntung setelah lulus SMA pada 1968, saya dipanggil kakak di Bandung. Dia yang memodali saya latihan bulutangkis. Dan seperti inilah hasilnya, ” beber Christian Hadinata.

Baca Juga: 

10 Anak Absen Grand Final Audisi Beasiswa Djarum, Ini Alasannya

Saat Dua Bocah Gorontalo Bermimpi Menembus Pelatnas