Chelsea dan Cerita di Balik Ketegasan Antonio Conte

oleh Zulfirdaus Harahap diperbarui 21 Okt 2016, 07:15 WIB
Manajer Chelsea Antonio Conte saat timnya melawat ke kandang Hull City. (Reuters / Scott Heppell)

Bola.com — Di Italia berlaku hukum seperti ini: Ketegasan adalah hal utama dalam pengambilan keputusan. Masyarakat negara berpenduduk 59 juta jiwa itu sering kali membuat keputusan, bukan karena merasa pasti benar, melainkan karena mereka memang harus tegas.

Advertisement

Hal ini pun berlaku dalam sepak bola. Mulai dari wasit plontos, Pierluigi Collina, hingga pelatih kelas dunia, seperti Fabio Capello, Giampiero Ventura, dan Antonio Conte. Nama terakhir sempat menjadi perbincangan hangat setelah memutuskan bergabung dengan Chelsea.

Chelsea memang tidak asing lagi dengan pelatih Italia. Sebelum Conte, The Blues pernah dilatih Gianluca Vialli, Claudio Ranieri, Carlo Ancelotti, hingga Roberto Di Matteo.

Lalu mengapa Conte memilih Chelsea yang sering membongkar pasang kursi pelatih? Gianluca Vialli, dalam karyanya,The Italian Job: A Journey to the Heart of Two Great Footballing Cultures, menggambarkan secara jelas perbedaan kultur sepak bola Inggris dan Italia.

Menurut Vialli, sepak bola Inggris tak bisa disamakan dengan Italia. Sebab, bagi orang Inggris yang mendewakan permainan cepat, taktik bertahan dengan tempo lambat yang sering diperagakan tim-tim asal Italia sungguh membosankan.

Hal ini memang sangat kontras andai dibandingkan dengan permainan ala Inggris yang mengandalkan kekuatan fisik, dan tempo tinggi. Namun, dari perbedaan inilah terdapat perbedaan besar yang bisa memengaruhi hasil pertandingan. 

Permainan dengan tempo lambat khas Italia kiranya memiliki tujuan khusus. Hal itu dimaksudkan agar lawan lengah karena frustrasi terhipnotis alur permainan membosankan. Jika sudah demikian, mereka tinggal melancarkan serangan balik mematikan.  

Selain itu, perubahan formasi pun tak jarang diterapkan di tengah pertandingan. Setiap tim yang memulai dengan skema 3-5-2 atau 3-4-3, bisa langsung berubah menjadi 4-3-3 atau 4-4-2, tergantung kejelian sang pelatih. 

"Gaya sepak bola Italia memang lebih cenderung bersifat taktis. Ketika seorang pelatih melakukan perubahan formasi, dia sebenarnya saat itu sedang mencari solusi," kata Vialli.

Kalimat sarat makna dari Vialli tersebut ternyata tak sepenuhnya dihiraukan pelatih-pelatih penggila permainan Kick and Rush di Inggris. Alhasil, mereka terkadang kerepotan ketika bertemu tim atau pelatih asal Italia.

Pilihan Conte

Conte melatih Chelsea menggantikan posisi Guus Hiddink dengan durasi kontrak tiga tahun. Berbekal pengalaman impresif bersama Juventus, kehadiran mantan pelatih Siena itu tentu memberi harapan baru bagi Tim London Biru yang sempat mengalami pasang surut performa.

"Dosa" yang ditinggalkan Jose Mourinho tak mampu dihapus Hiddink yang menjabat sebagai manajer interim hingga akhir musim 2015-2016. Mereka pun harus puas finis di posisi ke-10 yang berarti absen di Liga Champions atau Liga Europa. 

Manajer Chelsea, Antonio Conte. (Chelsea).

Bagi Conte, Chelsea tentu bukan klub yang asing. Bersama Juventus, dia pernah dua kali menghadapi The Blues di ajang Liga Champions 2012-2013. Ketika itu, Juventus meraih satu kemenangan dan satu hasil imbang.

Berbekal hasil tersebut, wajarlah jika Conte dianggap sudah bisa menerka lini pertahanan adalah masalah utama Chelsea. Manajer berusia 47 tahun itu pun langsung meminta bek tengah baru kepada manajemen klub. 

Kalidou Koulibaly, Kostas Manolas, Lamine Kone, menjadi target buruan. Namun, pada akhirnya Chelsea gagal merekrut ketiganya dan secara mengejutkan malah memboyong Marcos Alonso dan David Luiz pada hari penutupan bursa transfer.

Sadar keinginannya gagal terpenuhi, Conte memutar otak untuk menemukan skema pas dengan menggunakan warisan pemain dari manajer sebelumnya. Caranya dengan mencoba taktik selain 3-5-2, yang menjadi formasi andalan di Juventus dan tim nasional Italia. 

Pada tiga pertandingan awal Premier League 2015-2016, percobaan Conte sempat terbilang sukses. Dengan skema 4-1-4-1, 4-2-3-1, dan 4-3-3, Chelsea berhasil meraih kemenangan. Namun, situasi ini ternyata seperti bulan madu singkat. 

Chelsea_4-1-4-1 (Bola.com/Adreanus Titus).

Petaka dimulai pada pekan keempat ketika Chelsea bertandang ke Liberty Stadium, markas Swansea City, 11 September lalu. The Blues terlihat susah payah menghadapi The Swans yang ketika itu juga diasuh pelatih asal Italia, Francesco Guidolin.

Menggunakan formasi 3-5-2, Swansea mampu menghentikan langkah Chelsea usai bermain 2-2. Menariknya, hanya melawan Chelsea, Guidolin menerapkan formasi tersebut lantaran dalam tiga pertandingan sebelumnya dia memainkan skema 4-3-3 atau 4-2-3-1. 

Pemain Swansea City Vs Chelsea (Bola.com/Adreanus Titus).

Namun, meski mendapat "peringatan", Conte justru tetap mencoba tetap memainkan skema 4-1-4-1 pada laga berikutnya. Alhasil, lagi-lagi, The Blues menuai hasil buruk, bahkan lebih parah karena mereka takluk 1-2 dari Liverpool, dan 0-3 dari Arsenal. 

Dalam dua laga itu, lini belakang Chelsea terlihat sangat keropos tanpa kehadiran John Terry, yang mengalami cedera. Sementara itu, duet Gary Cahill dan David Luiz belum cukup padu karena sering membuat kesalahan elementer. 

Demikian halnya dengan Branislav Ivanovic yang sering telat mundur karena keasyikan membantu serangan Chelsea dari sisi sayap kanan. Situasi tersebut semakin menjelaskan, persoalan utama Conte di Chelsea adalah pertahahan.

"Kami masih mencari solusi di lini pertahanan. Sebab, kami gagal mendapatkan hasil maksimal dalam tiga pertandingan terakhir. Ini merupakan pelajaran yang berharga," ujar Conte, seusai pertandingan melawan Arsenal. 

Tegas

Pada akhirnya, ketegasan Conte sebagai orang Italia jua yang berbicara. Dua kekalahan tersebut semakin menguatkan hati sang manajer jika dia tak bisa menuruti keinginan suporter The Blues yang mendambakan sepak bola menyerang.

3-4-3 pun kembali menjadi pilihan. Azpilicuetta, Luiz, dan Cahill ditempatkan di lini belakang. Marcos Alonso, Kante, Matic, dan Victor Moses mengisi lini tengah, sedangkan Eden Hazard, Diego Costa, dan Willian di barisan depan. 

Chelsea_3-4-3 (Bola.com/Adreanus Titus).

Meski memulai pertandingan dengan tempo lambat, Chelsea berhasil menggenggam tiga angka. The Londoners menang 2-0 berkat gol Wllian dan Costa. Taktik sama diterapkan pada laga berikutnya melawan Leicester City. 

Hasilnya kembali bisa ditebak. Chelsea kembali menuai poin penuh usai menang 3-0. Formasi ini pun dianggap telah membuat beberapa pemain Tim London Biru mampu mengeluarkan kemampuan terbaik, salah satunya Eden Hazard. 

"Kami juga memainkan sistem seperti ini di tim nasional. Bagi striker, sistem ini membuat kami memiliki banyak kebebasan. Ini adalah sistem yang bagus untuk Chelsea," ujar Hazard. 

2 dari 2 halaman

Solusi Bonucci

Pelatih Chelsea, Antonio Conte, menyapa pemainnya usai menaklukkan Burnley. Chelsea kini memimpin klasemen Premier League dengan poin sembilan disusul Everton pada posisi kedua dengan nilai tujuh. (Reuters/Andre Couldridge)

Solusi Bonucci?

Lantas, apakah raihan dua kemenangan melawan Hull City dan Leicester, serta formasi 3-4-3 sudah menjadi solusi? Tentu saja belum. Sebab, Conte masih mencari pemain belakang yang dinilai bakal ideal dengan skema permainan ala Italia. 

Menurut media-media Inggris, usai kalah 0-3 Arsenal, pemilik Chelsea, Roman Abramovich, dikabarkan langsung mengadakan pertemuan dengan Conte di Cobham. Dalam kesempatan itu, Conte pun meminta Abramovic untuk merekrut bek Juventus, Leonardo Bonucci. 

Bagi Conte, Bonucci tentu bukan pemain asing karena pernah bekerja sama sebagai pemain dan pelatih di Juventus. Bek berusia 29 tahun itu juga menjadi salah satu pemain kunci ketika Conte mempersembahkan empat gelar Serie A beruntun pada rentang 2011-2014.

Pelatih Chelsea, Antonio Conte (kiri) dan bek Juventus, Leonardo Bonucci. (Daily Mail).

Conte jelas dapat menguatkan alasan untuk mendatangkan Bonucci yang dianggap akan menjadi pengganti ideal dari John Terry. Selain tangguh di belakang, bek asal Italia itu memiliki jiwa kepemimpinan yang mirip dengan Terry.

Hanya saja, Chelsea wajib bekerja keras memboyong Bonucci. Selain masih terikat kontrak hingga 30 Juni 2020, Juventus ditengarai tidak akan dengan mudah melepas sang pemain. Mau tidak mau, manajemen Chelsea harus rela menggelontorkan dana besar. 

Lalu, bagaimana jika keinginan itu kembali tidak terpenuhi? Satu hal pasti, Juventus pernah merasakan ketegasan sang manajer andai berbicara mengenai kebijakan transfer klub.

Menurut La Gazzetta dello Sports, salah satu penyebab Conte hengkang dari Turin karena kesal terhadap langkah I Bianconeri melego Arturo Vidal ke Bayern Munchen pada 2014. Keputusan ini kian menggambarkan karakter asli Conte sebagai orang Italia. 

Beberapa waktu lalu, alarm sudah berbunyi di London. Setelah bertemu dengan Abramovic, sempat muncul kabar Conte berniat hengkang dari Stamford Bridge karena mulai gerah dengan kebijakan transfer klub, meski pada akhirnya dibantah manajemen The Blues.

"Saya akan memberi Anda tawaran yang tidak akan bisa Anda tolak." — Mario Puzo, The Godfather. 

Sumber: Berbagai sumber

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, La Liga, Liga Champions, dan Liga Europa, dengan kualitas HD di sini

Berita Terkait