Made Pasek Wijaya, Si Kijang Timnas Indonesia dari Tanah Dewata

oleh Wiwig Prayugi diperbarui 20 Mar 2017, 10:15 WIB
I Made Pasek Wijaya, mantan pemain Timnas Indonesia. (Bola.com/Adreanus Titus-foto: Vitalis Yogi Trisna)

Bola.com, Jakarta - I Made Pasek Wijaya pada era pertengahan 1980-an hingga 2000 dikenal sebagai gelandang Timnas Indonesia yang lincah, hingga dijuluki Si Kijang dari Tanah Dewata.

"Saya bertaruh dengan teman sekelas saya di SMA Ragunan, Rexy Mainaky. Siapa yang lebih dahulu ke luar negeri dapat medali."

Ungkapan I Made Pasek Wijaya kepada Bola.com itu membuka kenangan masa lalunya di Timnas Indonesia yang berawal dari SMA Ragunan. Rexy, legenda bulutangkis Indonesia, pada masa remaja menjadi teman sekelas Made Pasek. Walau berbeda cabang, remaja di kelas 1 SMA Ragunan itu bersaing meraih prestasi. Bila pertandingan digelar di luar negeri, gengsi akan semakin tinggi.

Advertisement

Made Pasek yang kini akrab dengan panggilan Pakde, meninggalkan kampung halaman dan masuk SMA Ragunan untuk mengejar impian ke Timnas Indonesia pada 1983. Setahun kemudian, ia membawa medali emas pertamanya dari timnas pada ajang Piala Pelajar Asia.

Piala Pelajar Asia 1984 digelar di India. Indonesia yang ditangani Omo Suratmo, Maryoto, dan Bukhard Pape, mengalahkan Thailand pada babak final. Rekan seangkatan Made Pasek pada Piala Pelajar Asia di antaranya pelatih Martapura FC, Frans Sinatra, Noah Meriem, dan legenda Persib Bandung, Yudi Guntara.

Pada edisi berikutnya, Made meraih juara pada ajang sama yang digelar di Senayan. Setelah melewati masa di timnas junior, Made Pasek naik level ke timnas senior dan meraih medali perunggu SEA Games 1989. Ia juga bergabung dalam skuat Garuda Pra Piala Dunia 1990.

Sederet prestasi ia dapatkan bukan tanpa perjuangan. Made Pasek sempat mengalami kegalauan luar biasa saat meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama.

"Kakak yang membawa saya ke SMA Ragunan setelah mengikuti Piala Soeratin dan Popnas tahun 1983. Baru dua minggu saya minggat. Tidak betah karena saya cenderung gampang kangen rumah," katanya.

Sang kakak, Made Sony Kawiarda, menyadari untuk masuk ke tim nasional, Made Pasek harus meninggalkan Bali. Hal itu sangat berat karena meninggalkan Bali berarti meninggalan segala kenyamanan dan kedamaian.

"Orang Bali tidak ada tradisi merantau karena tanah kami disebut sebagai surga dengan keindahan dan kenyamanannya. Tapi, di sepak bola justru sebaliknya. Pemain yang ingin meniti karier harus merantau," kenang Sony Kawiarda.

Singkat cerita, Made Pasek melanjutkan perantauannya dan bergabung Timnas Indonesia hingga tahun 2000. Di klub, pria yang menghabiskan bersama Pelita Jaya, mengakhiri karier sebagai pemain Persekaba Badung pada 2005.

 

2 dari 3 halaman

Dari Bali, kembali ke Bali

I Made Pasek Wijaya kembali menangani tim kampung halaman. (Bola.com/Iwan Setiawan)

Dari Bali, kembali ke Bali

Made Pasek tidak butuh waktu lama untuk menjadi pelatih. Berbekal lisensi C nasional pada 2005, Made Pasek menjadi asisten pelatih Persekaba. Ia kemudian menangani tim PWI Bali, Perst Tabanan, dan Perspon Pontianak.

Made Pasek lalu kembali ke klub lamanya, Pelita Jaya U-21, menjadi asisten pelatih mendampingi Djadjang Nurdjaman. Pelita Jaya U-21 yang diperkuat Dedi Kusnandar, Ferdinand Sinaga, hingga Rizki Novriansyah meraih juara ISL U-21 2011.

Setelah menjadi asisten pelatih di Pelita Jaya, pria kelahiran Denpasar, 5 Juli 1969, bergabung Arema FC, mendampingi Rahmad Darmawan pada 2012 hingga 2016. Ia memutuskan pulang ke kampung halaman dan ini menemani Hans Peter Schaller di Bali United.

Asisten pelatih Bali United, Made Pasek, saat sedang menunaikan ibadah di kediamannya di Bali, Rabu (15/3/2017). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

"Faktor keluarga yang membuat saya memutuskan kembali ke Bali. Istri saya bekerja dan anak-anak sudah mulai besar sehingga saya merasa harus mendampingi mereka lebih dekat," ucapnya.

Di Bali, Made Pasek kembali bercengkerama dengan saudara kandungnya. Apalagi, sepak bola sudah mendarah daging pada keluarga I Made Pasek Wijaya.

Made Kawi, sang ayah, adalah penggila sepak bola. Tiga saudara Made Pasek, Made Sony Kawiarda, Made Oka Wisnawa, dan Made Ngurah Jayanjaya (almarhum) juga pemain sepak bola dan pernah memperkuat tim nasional.

Bakat sepak bola Made Pasek menurun pada putranya yang saat ini berkostum Bali United, I Made Andhika Wijaya Pradana Widjaya. 

"Sekarang lebih sering berkumpul dengan keluarga, kakak saya juga melatih tim lokal, kadang kami juga masih bermain sepak bola," kata Made Pasek.

Bersama mantan pemain sepak bola asal Bali, Made Pasek bergabung dalam komunitas Mitra Devata. Tujuannya untuk menjaga silaturahmi dan memberikan coaching clinic kepada pemain-pemain belia di Pulau Dewata.

3 dari 3 halaman

Sepeda Jengki Era Pak Harto dan Gaji 250 Ribu

I Made Pasek Wijaya (baris kedua pertama dari kanan) saat memperkuat Indonesia pada Piala Pelajar Asia. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Sepeda jengki era Pak Harto dan gaji 250 ribu

Made Pasek menyimpan banyak kenangan indah saat bergabung Timnas Indonesia. Tidak hanya medali dan piagam yang ia kumpulkan, tetapi juga momen-momen lucu selama berseragam Garuda.

"Kami pernah membawa trofi Piala Dunia 1986, lalu berkunjung ke Adidas di Jerman. Kami juga pernah mengikuti pemilu di Bangkok saat ikut kejuaraan," tuturnya.

Salah satu hadiah yang paling dia kenang adalah sepeda jengki, yang diberikan Menteri Olahraga Abdul Gofur, setelah timnas junior meraih juara Piala Pelajar Asia 1984. Sepeda itu merupakan bingkisan spesial dari Presiden Suharto.

"Cuma dapat sepeda, senangnya bukan main. Uang saku kami pada waktu itu Rp 250 ribu per bulan. Kami tidak memikirkan uang, prestasi nomor satu karena masuk timnas saja sudah sangat bangga," ucapnya.

Bermain sepak bola adalah gairah, pekerjaan, hingga menjadi gaya hidup. Begitulah cara Made Pasek Wijaya menikmati kehidupannya sebagai pesepak bola. Made Pasek berbagi cerita saat bersekolah di SMA Ragunan. Secara lugas, ia mengakui sebagai olahragawan hanya perlu menjalani masa mudanya dengan simpel.

I Made Pasek Wijaya (nomor tiga dari kanan), saat mengikuti Pemilu di Bangkok bersama Timnas Indonesia. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

"Kalau jadi atlet, ya latihan saja, tanding saja. Sekolah dan belajar itu penting, tapi saya mengalami kesulitan membagi antara sekolah dengan sepak bola. Jadi, sebenarnya simpel saja," katanya.

"Seperti Rexy dan Susi (Susi Susanti), dulu dia selalu menambah latihan sendiri. Maka tak heran mereka meraih medali di olimpiade," ucapnya.

Made Pasek berharap almamaternya kembali mencetak atlet-atlet andal. "Seharusnya sekarang untuk pembinaan sepak bola lebih mudah karena kemajuan teknologi. Tetapi, passion seseorang terhadap olahraga memang tidak bisa instan. Butuh perjuangan dan konsistensi," tuturnya.

Made Pasek juga bersyukur kali ini tetap konsisten di jalur sepak bola. Walau belum menyandang status pelatih kepala, Made merasa memiliki gairah yang sama terhadap sepak bola, sama seperti yang dilakukan Bali United.

"Sekarang ini sepak bola Bali kembali bergairah. Sudah banyak anak-anak kecil yang menggemari sepak bola. Pembinaan kami juga mulai berjalan baik dan pada tahun lalu Bali United lolos ke final ISC U-21," kata I Made Pase Wijaya mengakhiri pembicaraan.