Kiprah 5 Legiun Asing yang Banting Setir Menjadi Pelatih di Kompetisi Kasta Elite Indonesia

oleh Ario Yosia diperbarui 19 Jul 2019, 07:30 WIB
Trivia 3 Pelatih Asing Liga 1 2019 (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Keran pemain asing di kompetisi profesional Tanah Air dibuka lebar sejak pertengahan 1990-an, saat PSSI memperkenalkan format baru kasta elite berlabel Liga Indonesia yang merupakan penggabungan Perserikatan dan Galatama.

Kompetisi Liga Indonesia musim perdana 1994-1995 diramaikan banyak pemain asing. Asal negara mereka beraneka ragam. Mulai dari Argentina, Brasil, Chile, hingga Kamerun.

Advertisement

Di masa-masa awal Liga Indonesia, persaingan elite diramaikan dua bintang dunia. Mario Kempes yang jadi top scorer Piala Dunia 1978 bersama Argentina merapat ke Pelita Jaya. Klub yang sama juga mengontrak bintang Kamerun di Piala Dunia 1990, Roger Milla.

Dalam perjalanan waktu, jumlah pemakaian pemain asing berganti. Setiap klub sempat diperbolehkan menggunakan lima pesepak bola impor. PSSI beralasan kehadiran mereka amat diperlukan untuk mengerek tensi persaingan. Para pesepak bola pendatang juga diharapkan mentransfer ilmu sepak bola mereka ke pemain lokal.

Di pentas Shopee Liga 1 2019 ini, masing-masing klub hanya diperbolehkan menggunakan maksimal tiga pemain asing asal Eropa, Amerika Latin, dan Afrika, plus tambahan seorang lagi asal negara Asia. Kehadiran mereka membuat kompetisi terasa meriah.

Para pesepak bola yang singgah di negara kita merasa nyaman bermain di Indonesia. Selain bayarannya yang lumayan, mereka dibuat terpukau dengan fanatisme suporter. Selain itu, level persaingannya pun terhitung seru, setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Saat gantung sepatu, banyak dari legiun impor tak pergi dari Indonesia, mereka melajutkan karier sebagai pelatih. Bola.com mencatat sekurangnya ada eks legiun asing Liga Indonesia yang banting setir jadi nakhoda klub-klub di Tanah Air.  Bagaimana karier mereka di sini saat ini?

2 dari 6 halaman

Jacksen F. Tiago

Pelatih Barito Putra, Jacksen F Tiago) saat melawan Bhayangkara FC pada laga Liga 1 2017 di Stadion Patriot, Bekasi, (4/7/2017). (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Jacksen bisa dibilang sebagai figur sukses sebagai pemain dan pelatih. Kedatangannya ke Indonesia menyisakan cerita lucu.

"Awalnya saya dijanjikan bermain di Eropa oleh seorang agen. Saat perjalanan bersama beberapa pemain, tiba-tiba diberi tahu mendadak bahwa rencana berubah. Kami diminta bermain di Indonesia. Saya pikir sudah kepalang tanggung, saya iyakan saja. Ada pemain yang menolak dan memilih tetap di Brasil. Ternyata pilihan saya tepat, karier saya berkembang di Indonesia," cerita Jacksen dalam suatu kesempatan kepada Bola.com.

Di musim pertamanya di Liga Indonesia, dia bermain untuk Petrokimia Putra yang berakhir sebagai runner-up Liga Indonesia pertama. Tiago kemudian pindah ke PSM Makassar sebelum menemukan sukses bersama Persebaya Surabaya. Dia adalah pemain terbaik dalam Liga Indonesia pada musim 1996/1997 saat dia membawa Persebaya menjadi juara.

Dua musim di Persebaya, dia lalu pindah ke Singapura untuk membela Geylang United, namun hanya bertahan semusim sebelum kembali ke Persebaya. Pada tahun 2001, dia kembali bermain di Petrokimia dan pada akhir musim tersebut pensiun sebagai pemain. Setelah pensiun, dia berganti menjadi pelatih.

Jacksen membawa Persebaya, yang terdegradasi semusim sebelumnya, promosi ke Divisi Utama pada tahun 2003 dan juara Liga Indonesia pada musim 2004.

Lepas dari Tim Bajul Ijo, Jacksen memulai petualangan di Tanah Papua.

Jacksen pertama kali masuk ke Persipura di pentas Indonesia Super League musim 2008-2009. Saat itu ia menggantikan sosok Yusack Sutanto yang didepak karena bersereru dengan pemain di awal kompetisi.

Di musim perdananya Jacksen yang sebelumnya pernah sukses mengantarkan Persebaya Surabaya juara Liga Indonesia 2004 langsung mempersembahkan trofi kasta tertinggi.

Di tangan Jacksen, Persipura jadi tim yang superior. Mereka memenangi dua gelar kasta tertinggi tambahan pada musim 2010-2011 dan 2013.

Di era Jacksen ia melakukan gebrakan berani mengangkat Boaz Solossa sebagai kapten Tim Mutiara Hitam menggantikan sosok legenda, Eduard Ivakdalam. Ia banyak mempromosikan pemain-pemain belia.

Sayang kebersamaan Jacksen dengan Persipura berakhir pada ISL musim 2014. Ia diminta mundur oleh manajemen yang rumornya tak suka dirinya terlibat banyak aktivitas di luar tim. Saat itu Jacksen terlibat kontrak eksekutif menangani tim junior Danone U-12 yang akan berlaga di Piala Dunia Danone U-12.

Ia kemudian melalang buana ke Malaysia menanggani Penang FA pada periode 2014–2016 sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air untuk melatih Barito Putera pada musim 2017. Karier Jacksen di klub tersebut tak panjang.

Di awal Shopee Liga 1 2019 ia memutuskan mundur dari Pasukan Antasari karena merasa gagal menyajikan performa bagus di awal musim. Ia kemudian digantikan oleh Yunan Helmi. Tak lama menganggur Jacksen ditawari balik ke Persipura. Tanpa banyak berfikir ia menerima pinangan tersebut. Apakah Jacksen bakal kembali meraih kesuksesan di Tim Mutiara Hitam? Menarik melihat kisah perjalanan Jacksen selanjutnya.

 

3 dari 6 halaman

Luciano Leandro

Pelatih Persipura Jayapura, Luciano Leandro, memberikan instruksi saat melawan Persib Bandung pada laga Liga 1 2019 di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, Sabtu (18/5). Persib menang 3-0 atas Persipura. (Bola.com/M. Iqbal Ichsan)

Sosok kelahiran Brasil ini begitu lekat dengan PSM Makassar dan Persija Jakarta. Tak salah karena masa keemasan Luciano Leandro terjadi bersama dua klub papan atas Indonesia itu.

Bareng Jacksen, Luciano legiun asing generasi pertama era Liga Indonesia. Kemampuannya mengolah bola dikagumi banyak penggemar sepak bola Tanah Air. Ia playmaker yang dikenal lihat melayangkan umpan terukur. Tendangan bebasnya juga aduhai.

Pada 1996, pria yang akrab disapa Lucy tersebut pertama kali merumput di Liga Indonesia bersama PSM Makassar. Luciano merumput bersama Juku Eja selama empat musim. Di musim terakhirnya, Luciano berhasil mengantarkan PSM Makassar menjadi juara Liga Indonesia 1999-2000.

Selanjutnya, Luciano memutuskan hengkang ke Persija pada musim 2000-2001. Bersama Macan Kemayoran, Luciano berhasil membawa Persija jadi juara Liga Indonesia di musim pertamanya.

Ia kemudian gantung sepatu usai menjalani musim tak mengesankan pada tahun 2003. Luciano mencoba peruntungan baru sebagai pelatih, yang sayangnya tak sesukses saat jadi pemain.

Setelah gantung sepatu pada tahun 2004, Luci kembali ke Brasil. Di negara asalnya, selain mengelola hotel, ia juga melatih sebuah lokal bernama Goytacaz. Lelaki kelahiran 1 Februari 1966 pernah kembali ke Indonesia dan melatih beberapa klub. Sayangnya, karier kepelatihannya tak secemerlang saat ia jadi pelatih.

Pada tahun 2007, ia kembali ke Indonesia dan menjadi pelatih di Persma Manado. Di Manado ia tak bertahan lama karena masalah lisensi kepelatihan. Luciano hanya memegang lisensi kepelatihan dari negaranya Brasil dan bukan lisensi FIFA sesuai aturan saat itu.

Setelah di Manado, Luciano berlabuh di Medan sebagai pelatih PSMS Medan. Setali tiga uang, nasib kepelatihan Luciano juga berakhir dengan alasan yang sama di Manado. Hanya selama tiga bulan, November 2008 hingga Januari 2009, memegang posisi pelatih PSMS Medan.

Luciano kemudian menduduki posisi Direktur Tehnik PSMS Medan hingga musim 2008-2009 berakhir. Pada tahun 2011, Luciano menjadi asisten pelatih Persibo Bojonegoro mendampingi pelatih Sartono Anwar di ajang Indonesian Priemer League.

Di negara asalnya, selain pernah melatih Goytacaz, Luciano kini menjadi manajer pengelola Liga Deportiva Macae yang menggelar sejumlah cabang olahraga. Di antaranya sepak bola, futsal, bola basket, dan voli.  Ia juga pernah melatih Macae Esporte yang bermain di Serie B Brasil.

Karier kepelatihan Luciano Leandro tak secemerlang rekan satu timnya di PSM Makassar yaitu Jacksen F Tiago. Saat menukangi Tim Juku Eja di musim 2017, ia hanya sebentar bertahan. Dinilai gagal mendongkrak performa PSM di percaturan elite, Luci dipecat.

Kondisi serupa dirasakannya di musim 2019. Persipura memintanya mundur setelah Tim Mutiara Hitam menjalani lima laga tanpa kemenangan.

 

4 dari 6 halaman

Dejan Antonic

Pelatih Madura United, Dejan Antonic. (Bola.com/Aditya Wany)

Dejan Antonic masih ingat dengan baik pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Indonesia. mengaku dapat sambutan bak selebritis saat tiba di bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur tahun 1995.

Kala itu, pencinta sepak bola Surabaya, khususnya fans Persebaya, memang penasaran dengan sosok Dejan. Maklum, pria asal Serbia itu bersama dua pemain asing, Branko dan Plamen Kazakov merupakan pemain asing pertama milik klub yang kesohor dengan julukan "Green Force" di Liga Indonesia II.

Kehadiran Dejan kian menyita perhatian karena datang dengan embel-embel pemain asing. Selain datang dengan harga tak murah, pria kelahiran Belgrade, 22 Januari 1969, itu punya rekam jejak karier yang tergolong apik.

Dejan adalah bagian dari "generasi emas" timnas Yugoslavia yang menjadi juara Piala Dunia U-20 tahun 1987 bersama sederet nama pemain top Eropa macam Zvonimir Boban, Davor Suker, Predrag Mijatovic, dan Robert Prosinecki. Selain itu, ia juga pemain jebolan Red Star Belgrade, salah satu klub dengan nama besar di Yugoslavia (sekarang Serbia).

"Pertama saya kaget karena ada banyak warna hijau (warna kebesaran Persebaya) di bandara. Saat itu, saya pikir ada Presiden datang, namun mereka membawa tulisan 'Selamat Datang Dejan'. Saat itu ada sekitar 10 ribu orang yang menyambut," ucap Dejan mengenang masa-masa awalnya datang ke Indonesia saat berbincang dengan bola.com, beberapa waktu lalu.

Pria yang hanya satu musim berseragam Persebaya (1996-1996) itu datang ke Indonesia berkat saran legenda AC Milan, Dejan Savicevic. Saran itu diberikan Savicevic karena tahun 1994 sepak bola Yugoslavia disanksi akibat perang yang terus terjadi di kawasan tersebut.

Perang Balkan itu berimbas kepada para pesepak bola yang berasal dari salah satu negara di Eropa Timur tersebut. Kebanyakan pemain kesulitan untuk mendapatkan izin kerja untuk bermain di kompetisi benua biru. Sanksi itu pula yang membuat Dejan akhirnya harus angkat kaki dari klub Belgia, Beveren yang sudah dua musim ia perkuat (1992-1994).

"Saat itu bagi kami solusinya hanya ke Asia. Teman saya, Savicevic memberi solusi dengan mengusulkan bermain di Indonesia, sebuah negara yang ia katakan ingin memajukan sepak bola sepak bola. Selain itu, dia katakan sepak bola juga populer di Indonesia," kata Dejan meniru omongan Savicevic kala itu.

"Dia juga katakan juga ada Roger Milla dan beberapa pemain lain sudah di sana. Saya akhirnya pilih Indonesia karena menarik buat saya dan juga berkat saran dari Savicevic," ia melanjutkan.

Keputusan bermain di Indonesia itu pun diakui Dejan tidak salah. Semusim di Persebaya, pria yang kini berusia 47 tahun kemudian memperkuat dua klub lain di Indonesia, yakni Persita Tangerang (1996-1997) dan Persema Malang (1997).

Kendati petualangannya di klub Indonesia sebagai pemain terbilang singkat, karena memutuskan untuk melanjutkan karier di Hong Kong, Dejan tetap punya kesan yang mendalam dengan negeri seribu pulau ini. Jangan heran begitu gantung sepatu, Dejan menjadikan Indonesia sebagai destinasi kariernya.

Kiprah Dejan di Indonesia sebagai pelatih penuh lika-liku. Pada musim 2011-2012 ia menukangi Arema FC dengan cerita sukses mengantar Tim Singo Edan lolos ke perempat final Piala AFC. Dejan memilih kembali ke Hong Kong karena melihat konflik dualisme kompetisi di Indonesia membuatnya tak nyaman bekerja.

Dua tahun berselan Dejan kembali ke Indonesia.  Ia dielu-elukan karena sukses mengantar tim underdog, Pelita Bandung Raya, ke semifinal Indonesia Super League 2014, ia kemudian mengalami kejadian tak mengenakkan di Persib Bandung.

Dejan didatangkan dengan harapan bisa membantu proses regenerasi di Tim Pangeran Biru. Ia dikenal sebagai pelatih yang senang memberdayakan pemain muda. Tekanan sudah dirasakan Dejan di masa awal kepemimpinannya.

Bobotoh mulai sering membanding-bandingkan dirinya dengan Djanur, terutama ketika Persib hanya menjadi runner-up di turnamen Bali Island Cup dan Torabika Bhayangkara Cup. Di dua ajang tersebut, Atep dkk. kalah bersaing dari Arema Cronus.

Apesnya langkah Persib tersendat di laga-laga awal Torabika Soccer Championship (TSC) 2016. Maung Bandung seret kemenangan.

Pada laga pembuka di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, mereka hanya bermain 1-1 melawan Sriwijaya FC. Selanjutnya Hariono cs. hanya memetik hasil draw 1-1 di markas Pusamania Borneo FC. Sempat meraih kemenangan di kandang atas Bali United 2-0, berikutnya performa Persib kembali melempem dengan hasil imbang 0-0 kontra Madura United.

Kinerja pemain-pemain bawaan Dejan layaknya Juan Belencoso, Kim Kurniawan, Hermawan, serta David Laly jadi perhatian bobotoh.

Posisi Dejan kian sulit setelah Persib dihajar Bhayangkara Surabaya United 1-4 di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo. Ia sempat bersitegang dengan bobotoh seusai pertandingan. Lantaran tidak tahan dengan tekanan, Dejan Antonic memutuskan mengundurkan diri.

"Saya tidak merasa nyaman bekerja di bawah tekanan seperti ini," ucap mantan pelatih Pro Duta dan Arema IPL tersebut. Manajemen Persib menujuk asisten pelatih, Herrie Setyawan, sebagai caretaker di dua laga, yakni saat menghadapi Mitra Kukar (2-1) dan Persegres Gresik United (1-2). Djadjang Nurdjaman akhirnya comeback menukangi Persib.

Sempat melatih di klub Hong Kong, South China, Dejan yang menikahi wanita asal Indonesia kembali ke Bumi Nusantara. Ia didapuk sebagai pelatih Borneo FC. Dengan pencapaian biasa-biasa saja di Liga 1 2018, Dejan digaet Madura United.

Tim satu ini punya target tinggi jadi juara kompetisi dengan mendatangkan banyak bintang, tangan dingin Dejan Antonic diharapkan bisa membantu mewujudkan hal itu.

5 dari 6 halaman

Gomes de Oliviera

Pelatih Madura United, Gomes de Oliviera mombasa timnya bertengger pada peringkat keempat klasemen Liga 1 2017 dengan statistik 15 kali menang, enam kali seri dan enamel kali kalah. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Gomes de Oliviera, boleh jadi satu-satunya pelatih impor yang paling banyak melatih klub Indonesia.

Mengawali karier di Persebaya U-21, pria berpaspor Brasil itu terus mengembara di orbit sepak bola nasional. Tidak kurang tujuh klub sudah dipolesnya. Berpindah dari satu klub ke klub lainnya adalah bukti kebanggaannya kepada Indonesia. 

Semua bermula saat ia merantau ke Bumi Nusantara sebagai pemain pertengahan hingga akhir 1990-an lalu. Berposisi gelandang serang, Gomes pernah memperkuat klub Mitra Surabaya, Mataram Indocement Yogyakarta, Semen Padang, dan Persedikab Kabupaten Kediri. 

Seperti kebanyakan pemain asal Brasil lainnya, Gomes dikenal dengan kemampuan olah bola yang menawan. Saat bermain Gomes kerap bertukar posisi sebagai striker. Ketajamannya oke.

"Saya senang dengan sepak bola Indonesia. Saya selalu bekerja profesional di semua klub. Meski belum pernah bawa tim ke tangga juara, obsesi saya meraih prestasi tertinggi tidak pernah padam. Selalu menyala di mana saya bekerja," kata Gomes.

Kini pria berpaspor Brasil itu menangani Kalteng Putra. Menjadi suksesor Kas Hartadi, mantan pelatih Madura United itu tidak mau jadi sasaran tembak lawan.

"Juara adalah obsesi saya. Apalagi saya sudah lama di Indonesia dan banyak klub yang sudah pernah saya latih. Kini bersama Kalteng Putra, kembali saya merenda asa," kata Gomes. 

Asanya bukan mimpi di siang bolong. Bersama Laskar Isen Mulang, Gomes dapat keleluasaan mendatangkan pemain pilihan yang bisa mendukung skema permainan dan konstruksi tim juara.  

"Selain memiliki kebebasan dalam mencari pemain, saya selalu didukung manajemen dan pemilik klub. Suasana internal tim sangat mencair. Enak sekali kerja sama dengan semua unsur tim. Benar-benar tidak ada jarak," kata pelatih 56 tahun yang sudah mualaf karena menikahi wanita asal Indonesia bernama, Chris Sintya.

Menurut Gomes, semua komponen tim punya visi dan obsesi sama dalam menatap masa depan. Yakni membuat prestasi terbaik untuk Kalteng Putra yang sudah menjadi rumah nyaman buat pelatih dan stafnya serta pemain.

 

6 dari 6 halaman

Alfredo Vera

Mantan pelatih Persipura dan Persebaya, Angel Alfredo Vera. (Bola.com/Aditya Wany)

Karier Angel Alfredo Vera di Indonesia terhitung unik. Sebagai pemain asing, kiprahnya kurang memesona.

Ia lebih banyak menghabiskan keringat di klub-klub kecil. Di Indonesia pelatih asal Argentina tersebut sempat kerkiprah di Persekap Pasuruan (2005–2007), PSAP Sigli (2007–2008), dan PSS Sleman (2008–2009).

Saat banting setir jadi pelatih Alfredo justru menikmati cerita sukses. 

Lisensi kepelatihan pria kelahiran 18 Agustus 1972 sempat dipersoalkan oleh PSSI. Uniknya itu terjadi setelah tiga tahun ia berkiprah di Indonesia usai menukangi Persela Lamongan (2013–2014), Gresik United (2014) dan Borneo FC U-21 (2016). 

Alfredo Vera meraih kesuksesan di Persipura Jayapura dengan mengantar klub tersebut menjadi juara kompetisi Torabika Soccer Championship 2016. Pencapaian yang dinilai luar biasa karena Tim Mutiara Hitam sedang melakukan regenerasi.

Di era sang mentor, pemain-pemain belia seperti, Marinus Wanewar, Osvaldo Haay, M. Thahir, dapat kesempatan besar bermain di tim inti.

Uniknya usai mempersembahkan gelar juara, Alfredo justru dipecat jelang Liga 1 2017 bergulir. Namun ia tidak lama-lama menganggur.

Persebaya Surabaya yang ada di level Liga 2 mengontraknya. Ia menggantikan sosok Iwan Setiawan yang dipecat karena terlibat keributan dengan Bonek.

Di musim perdananya, Alfredo mengantar Tim Bajul Ijo promosi dengan status juara. Sayang begitu berkiprah di kompetisi kasta elite, pelatih yang saat bermain berposisi sebagai bek itu, dinilai gagal. Persebaya sempat masuk zona degradasi pada pengujung putaran pertama sehingga sang arsitek dipinggirkan secara paksa.

Memasuki putaran kedua kompetisi, Alfredo digaet Sriwijaya FC. Sayang, kedatangannya terbilang terlambat. Tim Laskar Wong Kito sudah telanjur oleng sehingga menyudahi kompetisi dengan terdegradasi.

Musim ini di Shopee Liga 1 2019, Alfredo Vera menukangi Bhayangkara FC. Ia menggantikan posisi Simon McMenemy yang dikontrak PSSI sebagai pelatih Timnas Indonesia.