BPOM Desak Tambahan Anggaran Rp2,60 Triliun untuk Tahun 2026

Taruna menjelaskan, minimnya anggaran membuat target pengawasan 2026 berpotensi anjlok drastis.

Pemeriksaan sampel makanan, misalnya, dari target 18.114 hanya bisa dilakukan pada 2.399 sampel. Sementara itu, pemeriksaan obat tradisional dan kosmetik turun dari 40.000 menjadi hanya 5.000 sampel.

Hal ini berarti pecapaian pengawasan bisa terpangkas hingga 87 persen.

"Kegiatan vital kami, dari pemeriksaan sampel obat, makanan, kosmetik, hingga sarana produksi dan distribusi, bisa terhenti. Ini mengkhawatirkan karena menyangkut langsung kesehatan publik," kata Taruna.

Pengawasan sarana produksi dan distribusi obat maupun makanan pun bernasib serupa. Dari target 3.738 sarana produksi, hanya 495 yang bisa diperiksa. Begitu pula sarana distribusi, dari 23.000 target, kemungkinan hanya 3.000 yang dapat diawasi.

Taruna mengingatkan, lemahnya pengawasan bisa memunculkan kembali kasus-kasus serius, seperti tragedi gagal ginjal akut pada anak akibat cemaran bahan kimia berbahaya.

"Semua produk menjadi ancaman. Ini ibarat teror terselubung bagi masyarakat. Jika pengawasan melemah, risiko penyakit massal akan meningkat dan biaya kesehatan nasional ikut melonjak," jelasnya.

Tak hanya kesehatan publik, dampak ekonominya pun signifikan. Produk ilegal dan berbahaya yang lolos ke pasar dapat merusak iklim industri serta menjatuhkan reputasi Indonesia di mata internasional.

"Kalau citra kita di luar negeri rusak, dampaknya panjang bagi perdagangan dan kepercayaan global," ucap Taruna.

Sumber: merdeka.com