Sukses


Sprinter Palestina, Rekor Usain Bolt, dan Mimpi Medali Olimpiade

Bola.com, Ramallah Mohammed Khatib memiliki impian besar di usianya yang menginjak 25 tahun. Sprinter pria tersebut bertekad mempersembahkan medali Olimpiade yang pertama untuk Palestina. 

Instruktur Yoga yang mengantongi gelar sarjana di bidang sosiologi tersebut mulai bermimpi mengibarkan tinggi-tinggi bendera Palestina di ajang olahraga sejak memenangi nomor lari 100 meter beberapa tahun lalu.

Sejak itulah, dia setiap hari berlatih keras di lintasan beraspal, bukan trek khusus lari yang aman dan nyaman. Latihan keras tersebut dilakukannya di Ramallah, tepatnya di area tempat tinggalnya di West Bank.

“Kami memang punya stadion sepak bola, tapi lintasan atletik nyaris tidak ada. Ada trek sepanjang 100 meter, tapi beraspal dan bisa menyebabkan cedera,” kata pria muda yang mengenakan keffiyeh dengan warna bendera Palestina di lehernya, seperti dilansir NDTV, Senin (11/1/2016).

Namun, Mohammed Khatib tak punya waktu meratapi insfrastruktur yang ala kadarnya tersebut. Pria yang senang tersenyum dan mempunyai mata lebar itu selalu memasang target tinggi. Dia mengaku ingin menciptakan harapan dan kegembiraan bagi warga Palestina, yang telah menunggu selama 70 tahun untuk memperoleh pengakuan internasional.

Ide membawa Palestina berprestasi di ajang internasional terpecik di benak Khatib pada 2013, tahun di mana Gazan Mohammed Assaf memenangi Arab Idol. Ini adalah salah satu acara paling menyedot penonton di televisi Arab. “Saya melihat orang-orang begitu gembira. Mereka berpesta sepanjang malam karena seorang Palestina menang, tentu saja berkat dukungan suara dari publik di dunia Arab. Saya bilang kepada diri sendiri: bayangkan seperti apa jika seorang Palestina memenangi kompetisi global.”

Dianggap Gila

Sejak peristiwa itu, Khatib berlatih sendirian dengan menggunakan program latihan yang diperolehnya dari Youtube. Dalam tiga tahun, dia mampu mempertajam catatan waktunya di nomor 100 meter, dari 15 detik menjadi 11 detik.

Usain Bolt sedang beraksi di nomor lari 200m putra Kejuaraan Dunia Atletik 2015 di Stadion Nasional, Beijing, Tiongkok. (26/8/2015). (AFP Photo/Franck Fife)

Namun, catatan waktu itu masih jauh dari rekor dunia 100 meter milik pelari Jamaika, Usain Bolt. Bolt mampu melahap jarak 100 meter hanya dalam 9,58 detik. Catatan waktunya juga masih belum mencapai 10,16 detik yang menjadi syarat supaya terkualifikasi ke Olimpade Rio de Janeiro 2016.

“Banyak orang berpikir saya gila karena memilih nomor paling berat (100 meter dan 200 meter). Tapi saya yakin bisa melakukannya dan akan saya tunjukkan kepada mereka,” ujar Khatib.

Ada kalanya dia kehilangan harapan. Namun, Khatib tak pernah absen latihan berlari 100 meter dan 200 meter. Saat berlatih, musik reggae selalu menemaninya. Tak ada yang bisa menghentikannya, termasuk minimnya fasilitas lari di Ramallah.

Tapi, jalan Khatib menuju Olimpiade sangat berliku. Dia belum pernah mengikuti kompetisi internasional, maupun adrenalin yang terbakar akibat dukungan penonton di stadion. Untungnya, hal tersebut tak memadamkan impiannya. Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah dia terkualifikasi ke Olimpiade 2016?

Jika catatan waktunya tak mampu memenuhi syarat minimal untuk terkualifikasi, masih ada cara lain untuk melaju ke Brasil. Khatib bisa mencoba jalur wildcard. Biasanya jatah wildcard diberikan kepada sejumlah pelari yang catatan waktunya sangat mepet dengan syarat kualifikasi atau sejumlah negara yang tak punya wakil di Olimpiade.

Dari lima atlet Palestina yang berkompetisi di Olimpiade London 2012, empat di antaranya berstatus wildcard. Hanya pejudo, Maher Abu Rameleh, yang menjadi atlet Palestina pertama yang lolos ke Olimpiade lewat jalur normal.

Bisa Melakukan Apapun

Yang jelas, Palestina belum pernah memenangi medali Olimpiade. Rakyat mereka juga menyadari tak mudah meraih medali di ajang multievent empat tahunan itu.

Tetapi, layaknya lolos ke Piala Dunia sepak bola, partisipasi di Olimpiade bukan sekadar urusan olahraga, tapi juga pernyataan politik dalam hal dukungan pendirian negara Palestina. Dia ingin membuktikan anggapan sebagian publik, terutama Israel, bahwa Palestina tak mampu melakukan apapun adalah salah. Pembuktian dilakukan lewat jalur olahraga.

Warga berada di antara logo Olimpiade yang terdapat di luar National Olympic Stadium, Tiongkok, Senin (2/1/2012). Stadium itu rencananya akan digunakan sebagai tempat upacara pembukaan dan penutupan Olimpiade Musim Dingin 2022. (EPA/How Hwee Young).

“Saya memilih melakukan sesuatu untuk komunitas saya. Ide Olimpiade adalah menciptakan harapan dan menununjukkan kami bisa sukses,” bebernya.

Untuk naik level setelah sekian tahun berlatih tanpa instruktur, dia butuh gemblengan dari pihak luar. Dia pun akhirnya menemukan pelatih, tapi di Texas, Amerika Serikat. Setelah memperoleh visa Amerika, dia butuh dana sekitar 8.000 dollar AS untuk tiga bulan tinggal di Negeri Paman Sam.

Khatib beraksi lewat Internet. Dia merilis sebuah laman fundraising. Hasilnya sungguh di luar dugaannya. “Hanya dalam tempo tiga hari, saya telah mendapatkan jumlah itu,” ujarnya. Beberapa hari kemudian, terkumpul dana mencapai 13.000 dollar AS.

“Jika setelah berlatih dia cukup cepat, maka kami siap mendukungan dan mengirimnya berlatih ke luar negeri, seperti yang telah kami lakukan terhadap sejumlah atlet,” ujar Munther Masalma, Sekretaris Komite Olimpiade Palestina, seperti dilansir AFP.

“Tahun ini kami berharap meraih sesuatu yang di luar dugaan dan mengirimkan 8 hingga 10 atlet Palestina ke Rio de Janeiro,” imbuhnya.

 

Video Populer

Foto Populer