Carlo Ancelotti Sindir Liga Champions yang Kian Membosankan

Perubahan format kompetisi yang kini menampung 36 tim dan menerapkan sistem Swiss, di mana setiap klub memainkan delapan laga fase liga, bukan enam seperti sebelumnya, justru dianggap membuat turnamen kehilangan gereget.

Format lama dengan 32 tim memang sempat dikritik, tetapi masalah utamanya bukan pada sistem, melainkan pada kesenjangan finansial antara klub elite dan tim kecil di Eropa. Kini, ketimpangan itu makin kentara.

Musim ini, enam klub asal Inggris langsung tampil di fase grup tanpa melalui babak play-off. Dalam beberapa hari terakhir, enam tim tersebut mencatat lima kemenangan dan satu hasil imbang, dengan torehan 16 gol dan hanya kebobolan tiga kali.

Dominasi finansial klub Premier League membuat mereka hampir tak tersentuh. Menghadapi klub Eropa non-elite kini terasa lebih mudah ketimbang bertandang ke Craven Cottage.

Situasi ini sebagian besar disebabkan oleh keputusan UEFA setelah kegagalan proyek European Super League, yakni menambah dua slot untuk liga dengan koefisien terbaik.

Namun, kebijakan itu justru semakin menguntungkan liga besar seperti Inggris, Spanyol, Jerman, dan Italia, empat kompetisi yang sudah memiliki empat tiket otomatis. Dari 36 peserta fase liga, 19 di antaranya berasal dari empat negara tersebut.

Pertandingan seperti Newcastle melawan Athletic Bilbao atau Tottenham menghadapi Villarreal kini dinilai tak lebih dari laga perempat final Liga Europa yang diangkat ke level lebih tinggi.

Kehadiran mereka di Liga Champions dianggap mengorbankan juara-juara liga kecil, seperti Austria, Kroasia, Polandia, Skotlandia, Serbia, atau Swiss.

Sementara itu, tim-tim dari pinggiran Eropa seperti Pafos, Qarabag, Kairat, dan Bodo/Glimt justru memberikan warna dan semangat sejati kompetisi.

UEFA sejatinya pernah memangkas format Liga Champions pada musim 2003/04 dengan menghapus fase grup kedua karena kekhawatiran soal kelelahan pemain dan menurunnya minat penonton.

Namun, dua dekade kemudian, format yang "menggemuk" justru kembali hadir dengan dalih modernisasi.

Kini, Phase League terasa seperti parade bagi klub-klub kaya, tanpa ketegangan berarti hingga memasuki babak gugur di akhir Februari. Padahal, esensi sepak bola Eropa seharusnya adalah pengalaman lintas budaya: bertemu tim-tim asing di tempat yang tak biasa.

Pengulangan kota yang sama; London, Paris, Munich, Madrid, membuat turnamen kehilangan daya pikatnya.

Solusinya, menurut banyak pengamat, adalah kembali ke format 32 tim, mengurangi jatah klub dari liga besar demi keberagaman, serta mengembalikan unsur kejutan agar setiap pertandingan terasa penting.

Namun, seperti diungkapkan Ancelotti, "odometer" Liga Champions sudah terlanjur berputar ke arah yang salah.

Kritiknya yang tajam mencerminkan kenyataan pahit: kompetisi ini kian membosankan karena dikuasai klub-klub besar yang hanya memperkuat statistik kemenangan mereka.

Sumber: Planet Football