Franco Mastantuono: Jejak Sang Prodigy, Dilema di Bernabeu, dan Last Dance di Piala Dunia Antarklub

Franco Mastantuono bukan sekadar gelandang serang. Ia adalah tipikal “enganche” modern—pengatur tempo sekaligus kreator serangan yang mampu mengubah ritme permainan dalam sekejap. Berusia 17 tahun, Mastantuono telah menorehkan rekor sebagai debutan termuda timnas senior Argentina, melampaui nama-nama besar seperti Alejandro Garnacho.

Ia dikenal sebagai finisher kidal yang piawai, memiliki visi bermain tajam, serta kemampuan teknis di atas rata-rata. Dalam 61 laga bersama River Plate, Mastantuono mencetak 10 gol dan sejumlah assist, termasuk gol tendangan bebas spektakuler di Superclásico melawan Boca Juniors yang membuat namanya melambung di Eropa.

Di bawah asuhan Marcelo Gallardo, Mastantuono berkembang pesat. Ia tidak hanya piawai dalam menyerang, tetapi juga disiplin dalam bertahan, terbukti dari statistik dribel sukses dan aksi defensifnya saat debut di timnas Argentina.

Gaya bermainnya yang fleksibel membuatnya bisa ditempatkan di belakang dua penyerang, berdampingan dengan Jude Bellingham, atau bahkan sebagai sayap jika dibutuhkan. Ia dikenal sebagai kreator peluang, pengatur tempo, dan “X-Factor” yang mampu memecah kebuntuan di lini serang.

Meski mendapat kepercayaan dari pelatih anyar Xabi Alonso, yang kabarnya ingin langsung mengandalkan Mastantuono sebagai starter, jalan Mastantuono di Madrid tidak akan mulus. Ia harus bersaing dengan dua talenta muda yang lebih dulu bersinar: Arda Guler dan Brahim Diaz.

Guler, meski sempat cedera, tampil impresif saat comeback, sementara Brahim Diaz sudah terbukti penting di momen-momen krusial. Persaingan ini bukan sekadar rivalitas, melainkan ujian sekaligus peluang bagi Mastantuono untuk membuktikan diri layak mendapat tempat utama di tim bertabur bintang.

Madrid sendiri diprediksi akan memakai formasi 4-4-2 fleksibel musim depan, dengan Mastantuono diplot sebagai gelandang serang di belakang dua penyerang atau berdampingan dengan Bellingham.

Kombinasi Mastantuono dan Bellingham diharapkan menjadi senjata baru Los Blancos dalam membongkar pertahanan lawan. Namun, tekanan ekspektasi dan adaptasi ke sepak bola Eropa akan jadi tantangan tersendiri bagi Mastantuono, yang selama ini hanya bermain di Amerika Selatan.

Keputusan Mastantuono untuk tetap bersama River Plate hingga Piala Dunia Antarklub di Amerika Serikat musim panas ini adalah bentuk penghormatan terakhir bagi klub yang membesarkannya. Ini adalah “last dance” sang maestro muda bersama River Plate, momen di mana ia ingin menutup kisahnya di tanah kelahiran dengan prestasi.

Bagi Mastantuono, Piala Dunia Antarklub bukan sekadar turnamen, melainkan panggung perpisahan yang emosional sebelum ia benar-benar menapakkan kaki di Eropa dan memulai babak baru bersama Real Madrid.

Madrid telah mengamankan talenta langka, tetapi Bernabeu adalah panggung yang penuh tekanan. Di sana, Mastantuono akan menghadapi dilema posisi, ekspektasi tinggi, dan persaingan sengit. Namun, jika sepak bola adalah tentang mimpi, maka perjalanan Mastantuono baru saja dimulai, dengan satu “last dance” di River Plate, sebelum menulis sejarah baru di Madrid.