5 Kapten Berpengaruh PSM pada Era Liga Indonesia

oleh Abdi Satria diperbarui 07 Apr 2020, 09:15 WIB
Syamsul Chaeruddin dan Hamka Hamzah. (Bola.com/Dody Iryawan)

Bola.com, Makassar - Sejak penyatuan kompetisi Galatama dan Perserikatan menjadi Liga Indonesia, klub-klub Indonesia mulai mengarah ke era profesional. Pemilihan pemain yang direkrut setiap musim disesuaikan dengan kebutuhan dan target tim.

Termasuk eks Perserikatan yang sebelumnya mengandalkan fanatisme daerah yang ditunjukkan dengan spartan oleh para pemainnya saat berjibaku di lapangan hijau. Penunjukkan kapten sebagai pemimpin rekan-rekannya di dalam maupun luar lapangan tak lagi harus dari putera daerah. Seperti yang ditunjukkan oleh PSM Makassar.

Advertisement

Klub yang berdiri pada 2 November 1915 malah pernah menunjuk Yeyen Tumena sebagai kapten di Liga Indonesia 1995-1996. Penunjukan Yeyen sebagai kapten sempat memancing respons suporter PSM Makassar kala itu.

Alasannya, Yeyen baru pertama kali merumput di Liga Indonesia selepas berguru di Italia bersama PSSI Primavera. Usianya saat itu juga masih 19 tahun. Apalagi dalam tim masih ada pemain asli Makassar seperti Bahar Muharram, Ansar Razak atau Alibaba.

Tapi, manajemen PSM yang saat itu dikendalikan Nurdin Halid bergeming dengan keputusannya. Yeyen membuktikan kapasitasnya sebagai kaptendan palang pintu PSM. Bersama Juku Eja, Yeyen berkiprah sampai partai puncak Liga Indonesia 1995-1996 di Stadion Gelora Bung Karno.

Sayang,Juku Eja gagal meraih trofi juara setelah ditekuk Mastrans Bandung 0-2 di final. Setelah Yeyen, sederet bergantian jadi kapten PSM. Di antaranya Carlos de Mello (Brasil), Ponaryo Astaman, Charis Yulianto, Syamsul Chaeruddin, Andi Oddang, Zulkifli Syukur, Hamka Hamzah sampai Wiljan Pluim di era Liga 1 saat ini.

Tentu tak mudah menentukan deretan kapten yang berpengaruh PSM di era Liga Indonesia. Alasannya, semua kapten PSM memiliki karakter khas dalam memimpin rekan-rekannya di lapangan. Namun, ada sejumlah acuan yang bisa mengukur kapasitas mereka. Seperti penampilan, sikap yang membuat respek pemain lain dan tentu saja kesuksesan tim.

Lalu siapa mereka yang pantas menyandang status kapten berpengaruh besar di PSM Makassar? Berikut analisa Bola.com

 

2 dari 6 halaman

1. Yeyen Tumena

Mantan Pemain Primavera Indonesia, Yeyen Tumena. (Bola.cm/Nicklas Hanoatubun)

Ketika pertama kali bergabung bersama PSM, Yeyen Tumena sempat dipandang sebelah mata oleh suporter Juku Eja. Selain masih muda, PSM sudah memiliki palang pintu garang seperti Alibaba dan Ronny Ririn.

Belum lagi, PSM juga mengikat Marcio Novo, stoper asal Brasil. Penampilan awal Yeyen yang baru pulang dari berguru bersama PSSI Primavera di Italia belum menyakinkan. Tapi, sejalan dengan adaptasinya yang cepat, Yeyen menunjukkan kemampuannya sebagai stoper masa depan Indonesia.

Kepercayaan diri yang tinggi serta kemampuannya menyesuaikan diri dengan budaya lokal membuat Yeyen terlihat sebagai pemain asli Makassar. Manajemen PSM yang dikendalikan oleh Nurdin Halid bersama pelatih M. Basri memercayakan Yeyen sebagai kapten.

Pada musim perdananya, Yeyen langsung menjulang bersama PSM. Tim kebanggaan Kota Daeng itu menembus final Liga Indonesia 1995-1996. Meski gagal meraih trofi juara, penampilan PSM mendapat apresiasi. Yeyen dan rekannya, Ansar Razak terpilih masuk dalam daftar skuat tim nasional Indonesia untuk mengikuti putaran final Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab.

 

3 dari 6 halaman

2. Carlos de Mello

Carlos de Mello saat membela PSM (Bola.com/Dok. Pribadi)

Sebelum ke PSM, Carlos de Mello adalah pemain Pelita Jaya di Liga Indonesia 1997-1998. Ia diboyong ke Makassar oleh Nurdin Halid, eks manajer Pelita Jaya yang kembali memegang kendali manajemen PSM.

Nurdin Halid sangat percaya dengan kemampuan Carlos yang membawa Persebaya juara LigaIndonesia 1996-1997. Itulah mengapa Carlos diberi mandat jadi kapten PSM musim itu. Carlos membuktikan peran sentralnya di PSM.

Sebagai gelandang, Carlos adalah pengatur irama permainan PSM. Ia jadi eksekutor utama saat situasi bola mati, termasuk tendangan pojok dan penalti.

Bersama PSM, Carlos meraih berbagai kesuksesan. Selain juara Liga Indonesia 1999-2000, Carlos juga menjadi bagian penting PSM saat menjuarai turnamen Piala Ho Chi Minh City dan menembus perempat final Liga Champions pada 2001.

 

4 dari 6 halaman

3. Syamsul Chaeruddin

Gelandang PSM Makassar, Syamsul Chaeruddin. (Bola.com/Abdi Satria)

Sosok Syamsul Chaeruddin pertama kali mencuat saat membawa PSM menembus semifinal Liga Indonesia 2002. Berkat kiprahnya itu, ia terpilihmenjadi kapten tim nasional Indonesia U-21 yang meraih trofi juara Hassanal Bolkiah Cup di Brunei Darussalam pada 2002.

Sepulang dari Brunei, Syamsul secara reguler masuk dalam daftar panggil tim nasional. Di PSM, kiprah Syamsul yang berduet dengan Ponaryo Astaman jadi trademark musim 2003. Berkat penampilan ciamik bersama Juku Eja, duet Syamsul Ponaryo jadi pilar lini tengah tim nasional.

Sepeninggal Ponaryo dan Charis Yulianto, Syamsul menyandang kapten pada musim 2005. Militansi dan semangat pantang menyerah ala Syamsul di lapangan hijau jadi insprisasi banyak pemain muda di Makassar.

Ban kapten yang disandang Syamsul sempat berpindah ke Andi Oddang selama dua musim. Itu karena Syamsul hengkang ke Persija Jakarta pada 2010, kemudian Sriwijaya pada musim berikutnya.

Syamsul akhirnya kembali jadi kapten di PSM mulai musim 2012 sampai era Liga 1. Di Liga 1, peran Syamsul sebagai kapten diambil alih oleh Zulkifli Syukur dan Hamka Hamzah. Musim 2017 jadi musim terakhir Syamsul di PSM.

Meski tercatat sebagai pemain asal Makassar terlama menyandang status pemain nasional di era penyatuan kompetisi, Syamsul tak pernah membawa PSM meraih juara. Prestasi terbaiknya adalah membawa PSM dua kali menjadi runner-up Liga Indonesia musim 2003 dan 2004.

 

5 dari 6 halaman

4. Hamka Hamzah

Pemain PSM Makassar, Hamka Hamzah saat melawan PS TNI di Stadion Pakansari, Bogor (15/5/2017). (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Hamkah Hamzah adalah putra asli Makassar. Namun, ia tak lama berkostum PSM. Hamka pertama kali membela Juku Eja pada Liga Indonesia 2001-2002. Tampil semusim di PSM, Hamkah berpetualang ke sejumlah klub Indonesia dan Malaysia.

Jelang Liga 1 2017, Hamka akhirnya kembali ke kampung halamannya. Setelah berkali-kali menolak kembali ke PSM, ia akhirnya menerima tawaran manajemen PSM yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh Bosowa Grup.

Seperti kali pertama membela PSM, Hamka kembali hanya semusim di Makassar. Secara prestasi juga mirip. Pada 2002, PSM menembus semifinal. Sedang di Liga 1 2017, PSM bersama Hamka bertengger di peringkat ketiga.

Meski begitu, di Liga 1 2017, figur Hamka sangat berpengaruh di PSM. Eks bek tim nasional ini jadi simbol kebangkitan PSM dan kembali disegani lawan.

Di lapangan hijau, kepemimpinan Hamka membuat rekan-rekannya tampil lepas dan agresif menekan lawan setiap laga. Hamka membuat atmosfer Stadion Andi Mattalatta Mattoangin jadi sakral, saat pemain dan suporter bersama-sama menyanyikan Anthem ciptaannya selepas laga.

Meski mencintai PSM, Hamka memutuskan hengkang pada akhir musim. Disinyalir, ia tak setuju dengan keputusan Robert Alberts (Pelatih PSM) yang meminta Syamsul Chaeruddin mundur dari Juku Eja.

 

6 dari 6 halaman

5. Wiljan Pluim

Wiljan Pluim menjadi roh permainan di lini serang skuat Juku Eja. Hampir seluruh pelatih calon lawan PSM Makassar mewaspadai pergerakan pemain berusia 30 tahun ini. (Bola.com/Yoppy Renato)

Skill di atas rata-rata dengan umpan terukur plus kelihaian melewati lawan jadi trademark Wiljan Pluim. Tak ayal, sosok Pluim yang menyandang kapten PSM pada Liga 1 2018 berpengaruh besar pada penampilan Juku Eja di setiap laga.

Musim terbaik Pluim bersama PSM terjadi pada Liga 1 2018. Bersama Pluim sebagai kapten, PSM nyaris meraih trofi juara. Di akhir kompetisi, Juku Eja hanya berselisih satu poin dengan sang juara, Persija Jakarta, yang mengoleksi 62 poin.

Pada 2019, penampilan Puim kerap dibayangi cedera engkel yang merupakan akumulasi dari berbagai tekanan dan jegalan lawan terhadapnya. Namun, Pluim tetap berjasa membawa PSM meraih trofi juara Piala Indonesia dan menembus semifinal Piala AFC 2019 zona ASEAN.

Setelah dua ajang itu, Pluim memutuskan mengakhiri kiprahnya bersama PSM sebelum Liga 1 2019 berakhir. Ia pulang ke Belanda dengan alasan untuk memulihkan cederanya. Tanpa Pluim, penampilan menurun drastis dan mengakhiri kompetisi dengan bertengger di peringkat 12.