Sukses


6 Pesepak Bola Legendaris Indonesia yang Ditempa di Jawa Timur

Bola.com, Jakarta - Jawa Timur (Jatim) bak tanah subur yang tak pernah kering menghasilkan pesepak bola legendaris. Dari masa ke masa provinsi yang satu ini secara kontinu melahirkan pemain andal. Mereka tak hanya mengharumkan klub yang dibelanya, tapi juga nama negara lewat Timnas Indonesia.

Sistem pembinaan yang tertata rapi baik membuat Jatim mudah mencetak pemain-pemain berkualitas. Klub-klub di provinsi ini memiliki kompetisi rutin level usia dini. Asosiasi Provinsi dan Asosiasi Kabupaten PSSI bersinergi menggelar kompetisi rutin untuk menempa bakat-bakat muda. 

Dibanding daerah-daerah lainnya, Jatim memiliki banyak klub yang silih berganti memberi warna di persaingan kompetisi level elite. Beberapa di antaranya jadi pelanggan juara kompetisi Galatama atau Perserikatan hingga kini di era Liga Indonesia.

Andik Vermansah, pesepak bola yang tengah berkarier di klub Malaysia, Selangor FA, atau Evan Dimas yang saat ini sedang menjalani trial di klub Spanyol, Espanyol B, produk pembinaan sepak bola Jatim. Selain kedua nama ini masih ada sederet nama pemain lain yang namanya kerap wira-wiri di Timnas Indonesia.

Bayu Gatra (Sriwijaya FC), Fandi Eko Utomo (Surabaya United), Ahmad Bustomi (Arema Cronus), sebagian kecil pemain top asal Jatim yang kerap jadi perbincangan hangat publik sepak bola Tanah Air.

Bola.com mengajak pembaca bernostalgia mengenal sosok-sosok pesepak bola legendaris yang dibesarkan Jawa Timur. Siapa-siapa saja mereka?

1. Rudy Keltjes

Nama Rudy William Keltjes (62) pernah melambung di era 1980-an. Pemain kelahiran Situbondo, 20 Agustus 1953 itu, selalu dikenang pencinta sepak bola nasional lewat kesuksesannya membawa klub NIAC Mitra menjadi jawara kompetisi Galatama di tahun 1981-1982 dan 1982-1983.

Ruddy Keltjes, yang berposisi sebagai gelandang tengah, sempat dielu-elukan kala NIAC Mitra menjadi satu-satunya klub Indonesia saat itu yang mampu mengalahkan klub raksasa Inggris, Arsenal, dengan skor 2-0 dalam sebuah laga ekshibisi pada 16 Juli 1983 di Stadion Gelora 10 November, Surabaya.

Pemain blasteran Indonesia-Belanda tersebut memang tak mencetak gol di pertandingan tersebut. Namun, ia punya andil besar atas gol yang dicetak Fandi Ahmad (striker asal Singapura). Ya, umpan terukurnya memudahkan Fandi menceploskan gol ke gawang Arsenal yang dijaga kiper legendaris Inggris, Pat Jennings. Satu gol NIAC Mitra lainnya dicetak Joko Malis.

Rudy Ketljes (tengah), saat membela NIAC Mitra saat menjajal klub elite Inggris, Arsenal, di Stadion Gelora 10 November, Surabaya. (Dok. Ferdy Wenas)

The Gunners sebelumnya menang 5-0 melawan PSSI Selection dan PSMS Medan 3-0. "Ada beberapa hal yang sampai saat ini selalu membekas bagi diri saya. Pertama, ketika saya berkesempatan bertukar kostum dengan pemain Arsenal. Kedua, ketika laga usai, kami para pemain seperti mau pinsan karena mengalami kelelahan yang sangat luar biasa. Pertandingan digelar pada siang bolong dengan panas matahari yang menyengat," kenang Rudy. 

Saat pensiun sebagai pemain, Rudy meretas karier sebagai pelatih. Ia sempat singgah di Deltras Sidoarjo, Persijap Jepara, dan juga PSM Makassar. Walau tak pernah sukses membawa timnya jadi juara kompetisi, namun sebagai mentor figur Rudy Keltjes amat disegani oleh pemain, karena sikap tegasnya.

Maha karya terakhirnya adalah saat terlibat sebagai penasehat teknik Timnas Indonesia U-19 besutan Indra Sjafri . Kala itu Tim Garuda Jaya sukses juara Piala AFF 2013. Tim ini disebut generasi emas, melahirkan banyak pemain berbakat seperti misalnya: Evan Dimas, M. Hargianto, Putu Gede, Ilham Udin Armayn, Ravi Murdianto.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 6 halaman

2

2. Subangkit

Subangkit lahir dan besar di Pasuruan. Semasa aktif menjadi pemain, Ia adalah stoper tangguh Persekap Kota Pasuruan (1978), Assyabaab Surabaya dan Jaka Utama (1979), NIAC Mitra (1984), Suryanaga (1985), serta Persebaya Surabaya (1986-1992).

Di eranya, Subangkit dikenal sebagai salah satu pemain belakang yang sangat tangguh. Sikapnya yang dingin, pekerja keras, membuatnya tak hanya disegani oleh kawan, tapi juga lawan-lawannya. Namanya mengilap saat membela Persebaya Surabaya.

Ia masuk generasi emas Tim Bajul Ijo yang sukses jadi juara Perserikatan edisi 1988. Bersama Muharom Rosdiana, Zaenal Suripto, Nuryono Haryadi, serta Putu Yasa (kiper), lini pertahanan Persebaya amat sulit dijebol lawan.

Subangkit (nomor punggung 3) saat membela Persebaya Surabaya. (Repro Jawa Pos)

Saat Persebaya menjadi juara sempat mencuat kontroversi. Subangkit dkk. bermain sepak bola gajah dengan mengalah 0-12 melawan Persipura Jayapura. Motivasi pasukan Bajul Ijo kala itu untuk menyingkirkan saingan mereka PSIS Semarang, yang pada tahun sebelumnya memupuskan impian Persebaya di final kompetisi Perserikatan. Persebaya jadi yang terbaik setelah mengalahkan PSMS Medan dengan skor 3-1.

Pensiun sebagai pemain Subangkit meretas karier sebagai pelatih. Ia sempat menukangi klub yang membesarkannya Persebaya. Ia terhitung pelatih yang laris manis. Ia sempat menukangi Persema Malang, Persekabpas, Persela Lamongan, Sriwijaya FC, Persiwa Wamena, dan kini Mitra Kukar.

Ia sempat mencuatkan sensasi dengan membawa Persekabpas menembus babak 8 besar Liga Indonesia musim 2006. Padahal Tim Laskar Sakera berstatus sebagai pendatang baru di kasta elite. Di klubnya ia mencuatkan nama Supaham, Siswanto, dan Zah Rahan, pemain asing asal Liberia yang kini bermain di klub Malaysia, Felda United.

3 dari 6 halaman

3

3. Muhammad Zein Alhadad

Lahir dan besar di kawasan kampung Arab Ampel, Surabaya, Muhammad Zein Alhadad adalah pesepak bola produk asli Kota Pahlawan. Saat jadi pemain, Alhadad merupakan salah satu striker andalan NIAC Mitra. Pecinta sepak bola nasional era 1980-an tentu masih ingat aksi-aksi jempolan pria berambut kribo berdarah Arab satu ini.

Kemampuannya sebagai seorang striker tajam mendapat pengakuan dari seluruh nusantara ketika ia menjadi top scorer Galatama 1987-1988. Kala itu NIAC Mitra menjadi juara kompetisi setelah mengalahkan Pelita Jaya dengan skor 3-1.

Mamak (panggilan akrab Alhadad) bersama rekan-rekannya, seperti: Agus 'Kancil' Sarianto, Joko Slamet, Yohanes Geohera, dan Jaya Hartono, membuat NIAC Mitra jadi klub yang ditakuti serta disegani lawan-lawannya.

Penyerang kelahiran kelahiran Surabaya, 19 September 1961 tersebut tak pernah berpindah klub sepanjang kariernya. "Saya selalu membela NIAC Mitra sampai klub itu bubar pada tahun 1990-an. Banyak tawaran yang muncul tapi semua saya tolak karena merasa nyaman bermain di sana. Klub yang didirikan oleh A. Wenas seperti keluarga bagi saya," ujar Mamak mengenang masa lalunya. 

Pada interval tahun 1986-1989, Muhammad Zein Alhadad, jadi pelanggan Timnas Indonesia. Aksinya memesona di Piala Raja Bangkok, Pra-Piala Asia, Piala Kemerdekaan, dan juga Pra-Piala Dunia.

M. Zein Al-Haddad saat bertugas menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2015. (Bola.com/Arief Bagus)

 

Setelah Niac Mitra bubar, Mamak memutuskan gantung sepatu. Berbekal pengalamannya sebagai pemain ia dipercaya asisten pelatih klub asal Surabaya lainnya, Assyabaab Galatama, pada tahun 1991-1993. Dua tahun sudah cukup bagi lelaki dengan rambut ikal tersebut naik jabatan menjadi pelatih kepala. Dia nakhoda utama selama empat tahun dari 1993 hingga 1997.

Setelah itu ia melanglang buana ke sejumlah klub. Terakhir ia menukangi klub pada 2009. Saat itu ia sukses mengantar Deltras menempati posisi tiga besar Piala Indonesia (Copa Indonesia). Sebuah pencapaian yang terhitung luar biasa, mengingat The Lobster kala itu minim pemain bernama besar. Mamak dipilih sebagai pelatih terbaik.

Setelah lama menganggur, Alhadad menerima tawaran PSSI menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia U-23 mendampingi Aji Santoso pada 2014-2015. Tim Garuda Muda menembus perempat final Asian Games 2014 dan semifinal SEA Games 2015.

4 dari 6 halaman

4

4. Aji Santoso   

Publik sepak bola Indonesia era 1990-an pasti mengenal Aji Santoso . Pemain berposisi bek sayap kiri ini adalah salah satu pemain tenar di masanya. Penampilan Aji selalu memukau, baik bersama klub maupun Timnas Indonesia.

Kehebatan Aji saat masih menjadi pemain bisa dilihat dari seabrek gelar, baik bersama klub maupun Timnas. Di klub, Aji pernah mengantarkan tiga klub jadi juara kompetisi: Arema (Galatama 1992-1993), Persebaya Surabaya (Liga Indonesia 1997/1998), dan PSM Makassar (Liga Indonesia 1999-2000).

Bersama Timnas Indonesia, ia membawa Indonesia meraih gelar di SEA Games 1991 Filipina, prestasi yang belum bisa kembali diulang hingga saat ini. Aji disebut-sebut sebagai bek sayap kiri terbaik yang dimiliki Indonesia hingga saat ini. Kariernya di Tim Merah-Putih terhitung panjang, periode 1990-2000. Ia sempat jadi kapten Tim Garuda.

Menghabiskan sebagian besar kariernya di Persebaya Surabaya (1995-1999), Aji Santoso memutuskan gantung sepatu di klub kampung halamannya Arema Indonesia di pengujung musim 2004. Ia kemudian memperdalam ilmu kepelatihan.

Aji Santoso, saat menukangi Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2015. (Bola.com/Arief Bagus)

 

Pada tahun 2005 ia didapuk menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia U-17. Ia naik jadi pelatih kepala setelah Iwan Setiawan mundur karena menerima pinangan klub Persibom.

Setelah menangani pemain muda, Aji mencoba peruntungan di sejumlah klub. Ia sempat singgah di Persik Kediri, Persebaya Surabaya, Persisam Putra Samarinda, Persebaya 1927, dan Persema Malang.

Ironisnya karier gemilang sebagai pemain tak berulang saat jadi pelatih. Aji lebih sering gagal menyajikan prestasi. Walau begitu peruntungannya di level timnas junior terhitung bagus. Ia jadi asisten pelatih saat Indonesia jadi runner-up SEA Games 2011 dan 2013.

Aji Santoso naik kelas jadi pelatih kepala Timnas Indonesia U-23 di Asian Games 2014 dan SEA Games 2015. Ia kini aktif membina pemain usia muda di sekolah sepak bola miliknya di Malang.

5 dari 6 halaman

5

5. Sugiantoro

Sugiantoro alias Bejo jadi salah satu bek terbaik di masanya. Pemain binaan Persebaya Surabaya tersebut pernah menimba ilmu di proyek mercusuar, Timnas Primavera di Italia 1993-1994. Hanya saja, tak seperti kebanyakan rekannya, Sugiantoro memilih pulang lebih dini karena homesick.

Namun, bakat alam yang dimiliki Sugiantoro tetap berkembang. Ketika sepak bola masih akrab dengan formasi 3-5-2, Ia merupakan tembok kokoh bagi lawan. Maklum, Sugiantoro yang berposisi sebagai libero ini dituntut pandai membaca serangan lawan.

Tak heran, segudang prestasi pernah ia torehkan. Salah satunya membawa Persebaya dua kali menjuarai kompetisi kasta tertinggi Tanah Air musim 1997 dan 2004. Lantaran ketangguhannya jadi jenderal lini belakang, Bejo selalu jadi pelanggan Timnas Indonesia (1997-2004).

Sugiantoro, salah satu libero terbaik yang dimiliki Indonesia. (Bola.com/Fahrizal Arnas)

Keputusannya untuk pensiun dari Tim Garuda bukan karena kemampuannya menurun, tapi ia tersandung kasus pemukulan wasit, Subandi, pada musim 2002. Saat itu ia bermain di klub PSPS Pekanbaru bersama dua kompatriotnya asal Surabaya, Uston Nawawi dan Hendro Kartiko. Bejo tanpa ampun diskorsing satu tahun oleh PSSI.

Saat kembali bangkit pada musim 2004 bersama Persebaya, Sugiantoro selalu menolak panggilan membela Timnas Indonesia. “Tulis besar-besar, saya menjalani skorsing satu tahun penuh tanpa remisi. Bandingkan dengan kemudahan yang diterima teman-teman sesama pesakitan dua atau tiga musim belakangan ini. Lantaran tak ada penghargaan jasa itulah saya enggan masuk timnas. Bukan saya tak nasionalis,” ucap pemain kelahiran Sidoarjo, 2 April 1977 tersebut.

Karier Bejo sebagai pemain terhitung panjang. Ia baru memutuskan pensiun pada musim 2013 seusai memperkuat klub Divisi Utama, PS Mojokerto Putra. Sosoknya yang disiplin dalam belatih membuat kebugarannya tetap terjaga, walau usianya tidak lagi muda. Sugiantoro kini asyik menekuni bisnis pribadi selain menjalani pekerjaan sebagai PNS di Pemkot Surabaya.

 

6 dari 6 halaman

6

6. Uston Nawawi

Uston Nawawi adalah pemain jebolan proyek mercusuar pelatnas jangka panjang ke Italia berlabel Timnas Baretti pada 1995-1996.

Setelah menimba ilmu selama setahun dari Negeri Piza, pemain kelahiran Sidoarjo, 6 September 1978 itu bergabung dengan Persebaya Surabaya. Bersama Bajul Ijo, kariernya langsung meroket. Saat usianya masih 18 tahun, dia sudah masuk starter Persebaya.

Uston jadi salah satu pemain kunci Persebaya saat memenangi Liga Indonesia 1997 dan 2004. Karier profesionalnya terhitung panjang. Selain Persebaya ia sempat singgah di PSPS Pekanbaru, Persisam Samarinda, Persidafon Dafonsoro, Gresik United, dan Persida Sidoarjo.

Uston Nawawi(Bola.com/Zaidan Nazarul)

Ia baru gantung sepatu seusai musim 2014. Keputusannya untuk menepi bukan karena kemampuannya menurun dimakan usia. Uston masih dikontrak Persida pada musim 2015. Sayang, kompetisi mati suri karena konflik antara PSSI dengan Kemenpora, sehingga Uston akhirnya memutuskan pensiun.

Di level Timnas Indonesia Uston tercatat pemain yang sukses mengantar Tim Merah-Putih menembus babak final SEA Games 1997 dan Piala Tiger (sekarang Piala AFF) 2002.

Uston dikenal sebagai gelandang dengan kemampuan umpan terukur yang amat memanjakan para penyerang di tim yang dibelanya. Ia dianggap sebagai playmaker terbaik Indonesia setelah era Fachry Husaini dan Ansyari Lubis. Pribadinya yang pendiam dan dikenal tidak neko-neko saat menjalani kehidupan di luar lapangan membuat sosok Uston Nawawi disegani.

Tidak mudah bagi seorang pesepak bola bisa mempertahankan konsistensi permainan di level elite dalam waktu yang demikian panjang.

Video Populer

Foto Populer