Mengapa Olahraga Tidak Akan Pernah Bisa Tergantikan oleh eSports?

oleh Gregah Nurikhsani diperbarui 14 Apr 2021, 12:16 WIB
Ilustrasi - Esports Vs Traditional Sports (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Sejak Esports mendapatkan atensi global, ada persepsi bahwa 'olahraga tradisional' dan digital sedang berperang. Persaingan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, dengan banyak orang mengklaim bahwa olahraga riil akan segera digeser oleh new kids on the block.

Asumsi ini tidak berlebihan. Esports memang mengalami pertumbuhan pesat, bahkan terlalu pesat. Industri digital ini diproyeksi bakal memiliki nilai 5,45 miliar pounds pada 2027 mendatang, sebuah angka yang teramat besar.

Advertisement

Olahraga tradisional sebetulnya punya aset finansial yang besar pula. Hanya saja, dilansir dari fullsync.co.uk, jumlahnya statis dan cenderung menurun, apalagi pada masa pandemi ini.

Namun penggiat olahraga tradisional tidak perlu cemas secara berlebihan. Sebab Esports adalah produk yang berbeda dan sejatinya tidak bersaing 'antarplatform'. Sebaliknya, dua hal ini sebetulnya saling membutuhkan dan bersinergi.

Gim sepak bola seperti FIFA misalnya, adalah satu contoh simbiosis ini karena sepak bola adalah 'merek' paling populer di dunia. Seorang maniak sepak bola tidak mesti doyan bermain gim, tapi pencinta gim FIFA atau sejenisnya sudah barang tentu setidaknya memahami sepak bola.

 

Para penggerak sepak bola tidak perlu khawatir suporter akan kemudian berhenti ke stadion atau berlangganan TV berbayar semata-mata untuk pindah alam ke Esports. Sebab demografi kedua sektor ini berbeda.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 3 halaman

Akses Terbatas

Mobile Legends dikonfirmasi jadi salah satu judul gim esports yang dipertandingkan di SEA Games 2019. Liputan6.com/ Jeko Iqbal Reza

Bagian dari alasan mengapa olahraga tradisional telah bertahan lama adalah bahwa pondasi dasar yang dipegang hingga hari ini. Ambil contoh sepak bola.

Betul bahwa FIFA dan Pro Evolution Soccer membuat 'sepak bola' lebih mudah diakses dari sebelumnya, dan ada elemen hiburan yang sulit ditiru di tempat lain. Namun, penggemar memiliki beberapa cara untuk menikmati olahraga terkemuka dunia, seperti pergi keluar dan menendang bola ke dinding.

Karena peralatan yang dibutuhkan untuk bermain minim, sepak bola tidak akan pernah menjadi elitis bagi mereka yang benar-benar menyukainya. Hal yang sama berlaku untuk hampir semua olahraga yang populer di Inggris dan dunia, dari rugby hingga kriket dan tenis.

Ada beberapa pengecualian, seperti balap motor. Garis antara mobil asli dan versi digital yang berlomba di trek jauh lebih kabur, seperti yang disorot oleh Grand Prix F1 jarak jauh yang berlangsung pada tahun 2020 dan muncul kembali pada tahun 2021. Dengan para pembalap yang sebenarnya berinvestasi dalam teknologi, Formula 1 lebih cocok karena pemain dapat menguji kemampuan bermain mereka melawan orang-orang seperti Charles Leclerc dan George Russell, serta selebritas.

 

3 dari 3 halaman

Sekadar Hiburan Alternatif

2. Pria asal Argentina itu berhasil mengakhiri penantian panjang fans yang ingin melihat kembali tim kesayangan nya beraksi di Premier League. (AFP/Paul Ellis)

Masih seputar gim FIFA, tidak dipungkiri banyak atlet sepak bola yang juga aktif bermain gim besutan EA tersebut. Declan Rice, Trent Alexander-Arnold, sampai Andritany Ardhiyasa pun menyukai FIFA.

Tidak dapat ditampik pula bahwa casual gaming dan Esports berhasil mengonversi penikmatnya dari sekadar penghobi menjadi monetisasi. Anak SD saja sudah bisa membeli diamond di minimarket terdekat, kan?

Tapi ada garis yang jelas. Spencer 'Huge Gorilla' Ealing, juara FIFA World Championship 2017 yang kini menjadi kreator konten, pernah berkata bahwa gim FIFA pada akhirnya bisa menjadi hiburan alternatif bagi fans sepak bola yang rindu untuk bermain atau menonton pertandingan sepak bola.

Tapi ya sebatas itu saja, hiburan alternatif. Ealing mengakui bahwa olahraga tradisional akan tetap menjadi hiburan sebenarnya. Sementara dunia gim dan Esports, meski bisa mempertahankan komoditi yang sudah terbentuk dan dengan segala fantasinya, tetaplah memiliki demografinya sendiri.

Sumber: Berbagai sumber

Berita Terkait