Sukses


5 Alasan Liga Malaysia Pelabuhan Ideal bagi Pemain Indonesia

Bola.com, Jakarta - Dua bulan terakhir perhatian publik sepak bola nasional tersedot ke negara tetangga, Malaysia. Berita-berita soal kesuksesan pesepak bola Indonesia, Andik Vermansah, bersama klub Negeri Jiran, Selangor FA, menghiasi media-media Indonesia.

Yang menarik, satu per satu pemain asal Indonesia atau pesepak bola asing yang berkiprah di Tanah Air eksodus ke Malaysia. Vakumnya kompetisi Indonesia Super League imbas konflik berkepanjangan PSSI kontra Menpora Imam Nahrawi jadi alasan utama kepindahan mereka ke negara tetangga.

Makan Konate, Illija Spasojevic, Abdoulaye Maiga, Rohit Chand, deretan pemain impor yang musim 2015 bermain di Indonesia dan kini sudah hijrah ke klub-klub Malaysia.

Di sisi lain setelah Andik Vermansah, menyusul Oktovianus Maniani, Dedi Kusnandar, Achmad Jupriyanto, dan Yongki Aribowo mencoba peruntungan lewat sesi trial ke klub-klub profesional negara bekas jajahan Inggris tersebut.

Figur mantan pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2011 dan 2013, Rahmad Darmawan, bahkan sudah meneken kontrak selama dua tahun di klub kontestan Malaysia Premier League, T-Team.

Sebelumnya Jacksen Tiago, arsitek asal Brasil yang telah melanglang-buana di Indonesia, sejak musim 2015 sudah terlebih dahulu pindah ke Penang FA. Di musim pertamanya, Jacksen sukses mempromosikan klub asuhannya ke Malaysia Super League.

Lewat perbincangan para pelaku sepak bola nasional yang berkiprah di Liga Malaysia, bola.com menarik kesimpulan alasan kompetisi Negeri Jiran menjadi pelabuhan yang ideal bagi pesepak bola Indonesia. Berikut di antaranya:

1. Pengelolaan kompetisi yang lebih profesional

Asosiasi sepak bola Malaysia (FAM) mencontek gaya pengelolaan kompetisi profesional Inggris. Regulasi dan jadwal kompetisi Malaysia Super League dan Malaysia Premier League didesain dengan rapi sehingga pelaku yang menjalaninya merasa nyaman.

Klub-klub yang ikut kompetisi profesional memiliki fasilitas latihan lengkap ala klub-klub Eropa. Mereka memiliki stadion megah untuk bertanding, yang pengelolaannya dilakukan pemerintah daerah tempat klub bermarkas.

Bahkan saat sepak bola Malaysia dilanda gonjang-ganjing karena prestasi timnas Malaysia jeblok di Kualifikasi Piala Dunia 2018 yang menyebabkan terjadi restrukturisasi kepengurusan FAM, kompetisi profesional di negara yang merdeka pada 31 August 1957 ini tetap berjalan normal.

Pemerintah Malaysia amat menghormati independensi FAM. Situasi yang serba kondusif ini tentu membuat pesepak bola Indonesia bisa fokus bertanding, tanpa khawatir ada gangguan saat pelaksanaan kompetisi. 

PUJI - Jacksen F. Tiago dan Andik Vermansah, menikmati kesuksesan di Liga Malaysia musim 2015. (Facebook)

2. Nominal kontrak yang lebih besar

Mayoritas klub Malaysia dimiliki pemerintah negara bagian yang menopang penuh operasional pendanaan klub. Sistem pengelolaan bisnis yang profesional juga membuat tim-tim Malaysia tak pernah kering pemasukan.

Dengan mengandalkan dana taktis dari pemerintah negara bagian, sponsor, penjualan tiket dan merchandise, klub-klub Negeri Jiran dengan leluasa menggaji pemainnya dengan banderol kontrak di atas rata-rata.

Menurut Rahmad Darmawan rata-rata pesepak bola asing di Malaysia dibayar 2 hingga 3 miliar rupiah per musim. Andik Vermansah kala kali pertama meneken kontrak dengan Selangor FA dibanderol Rp 1,8 miliar. Sang pemain baru saja meneken kontrak baru di The Red Giants berdurasi dua tahun dengan mahar, konon angkanya menembus Rp 3 miliar/per tahun.

Pendapatan sebesar itu jauh lebih baik di Indonesia. Rata-rata klub Indonesia Super League membayar pemainnya kisaran Rp 500 juta hingga Rp 1,5 miliar. Ngenesnya seringkali pemain harus merasakan kesengsaraan karena pembayaran gaji mereka tersendat-sendat.

Nominal kontrak belum termasuk bonus prestasi. Ambil contoh Andik yang baru saja sukses mengantarkan Selangor juara Piala Malaysia 2015 mendapatkan bonus 50 ribu ringgit (Rp 161 juta).

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

3. Jam terbang bertanding yang lebih banyak

Kesempatan bermain pemain-pemain Indonesia yang berkiprah di Malaysia relatif lebih banyak. Selain berlaga di kompetisi utama, klub-klub juga bertanding di Piala Malaysia dan Piala FA Malaysia (serupa dengan Inggris). Itu belum termasuk laga-laga ekshibisi awal musim yang melibatkan tim-tim juara event. Jam terbang bertanding yang banyak membuat bakat pesepak bola Indonesia terasah. 

Pelatih asal Indonesia, Rahmad Darmawan (kedua kiri) diperkenalkan sebagai pelatih baru PBDKT T-Team di Malaysia, Kamis (3/12/2015). (Istimewa)

4. Penegakan disiplin yang lebih tegas

FAM amat ketat menegakkan aturan disiplin di pentas kompetisi. Menurut pengalaman Jacksen F. Tiago, cerita-cerita buruk keributan antarpemain atau melibatkan pemain dengan wasit yang sering tersaji di Indonesia, jarang terjadi di Malaysia. Jika ada pemain yang anarkistis, mereka terancam sanksi berat.

Ambil contoh kasus yang menimpa mantan pemain asing Arema, Gustavo Lopez, di klubnya Terengganu FA pada musim lalu. Gelandang serang asal Argentina itu terlibat keributan dengan pemain Singapore Lions XII pada leg kedua semifinal Piala FA Malaysia 2015. Ia dikartu merah dan diskorsing tiga bulan karena dianggap jadi provokator kerusuhan suporter.

Tak hanya tegas ke pelaku sepak bolanya saja, FAM juga seringkali menjatuhkan sanksi ke suporter-suporter klub yang bertindak anarkistis. Hukuman mulai dari denda ke klub hingga larangan pada individu masuk area pertandingan.

5. Adaptasi budaya yang relatif lebih mudah

Malaysia dan Indonesia negara serumpun, Bahasa Melayu yang digunakan untuk berkomunikasi di negara tersebut hampir mirip dengan Indonesia. Banyak orang Indonesia tinggal di Malaysia dengan status bekerja di Negeri Jiran. Pemain-pemain Indonesia bisa membunuh rasa kangen dengan kampung halaman dengan berinteraksi dengan mereka.

Komunitas pendukung fanatik klub-klub Indonesia, seperti Bonekmania (Persebaya Surabaya), Aremania (Persija Jakarta), Viking (Persib Bandung), tumbuh subur di sana.

Jika tak bisa menahan rindu, pemain Indonesia juga bisa dengan mudah mudik ke Indonesia. Transportasi udara dari Malaysia ke Indonesia relatif banyak. Biaya menumpang pesawat untuk kembali ke Tanah Air relatif terjangkau.

 

Video Populer

Foto Populer