Sukses


Feature: Resep Rossi Awet Bersinar di Level Tertinggi

Bola.com, - Menengok aksi Valentino Rossi pada 2002 di musim pertama MotoGP dengan mesin 990 cc, yang tertangkap pandangan mata adalah gaya membalap klasik Eropa. Saat menikung, pantatnya bakal sangat miring, namun tubuh bagian atas lebih terpusat di atas tangki. Lutut bagian dalam turun. Dia juga kerap mengangkat ban belakang saat mengerem. Gaya klasik yang menawan.

The Doctor, julukan Rossi, jarang ngotot menggeber motornya. Dia sabar membuntuti rivalnya seperti Max Biaggi, Carlos Checa, dan Sete Gibernau. Terus menekan sembari menunggu dua hal. Yang pertama, menipisnya ban lawan. Kedua, menanti sang rival melakukan kesalahan. Saat itu terjadi, pria berkebangsaan Italia tersebut bakal menyalip dengan elegan dan kadang tengil.

Strategi Rossi tersebut wujud permainan psikologi yang melelahkan. Konsentrasi lawan dibelah, antara mempertahankan kecepatan supaya tetap di depan dan bersiap menghadapi serangan The Doctor yang momennya sering tak terduga. Biaggi merupakan salah satu korban permainan psikologi ala Rossi ini. Pria Italia tersebut biasanya hanya bisa tersenyum kecut ketika keunggulan sepanjang balapan lepas di lap-lap akhir.

Meskipun sama-sama berasal dari Italia, Max Biaggi dan Valentino Rossi tak pernah akur. (Red Bull)

Balapan bukan kontes spontan. Itu adalah tes kepandaian level tinggi. Pebalap harus memahami esensi. Pada 2007, Rossi membeberkan pandangannya tentang balapan. “Jika Anda bisa paham (sebelum orang lain), tentang profil ban, bagian baru dari motor, Anda bakal mendapatkan keuntungan,” ujar Rossi, seperti dilansir Cycle World, beberapa waktu lalu.

Satu lagi kelebihan Rossi saat itu, dukungan seorang mekanik sekelas Jeremy Burgess, yang membuat motornya lebih mudah dikendarai dan lebih cepat dibanding pebalap-pebalap lain. “Cara menyetel mesin jadi kunci dari sebuah catatan waktu,” ujar Burgess. Jika tenaga mesin bisa lebih mudah digunakan, mesin tersebut dapat dimanfaatkan lebih baik daripada yang dimiliki para rival.

Level Kebugaran 

Para kompetitor juga harus belajar menyamai level kebugaran The Doctor. Meski usianya telah menginjak 36 tahun, Rossi seperti ikan nemo, karakter yang dipilihnya untuk desain helm di balapan MotoGP San Marino 2015. Kecil, tapi cerdik dan lincah. Rossi mempertahankan kebugaran dengan tak alergi mengadaptasi perubahan.

Valentino Rossi (kanan) dan Colin Edward pernah jadi rekan setim di Yamaha. (Motosport)

Sepuluh tahun lalu, seorang pebalap bisa saja tidur larut malam, meminum beberapa gelas bir dan keesokan harinya tetap memenangi balapan. Situasi berubah karena balapan juga berevolusi.

“Pada masa lalu, sepanjang balapan Anda dapat mengontrol pebalap lain. Saat ini, untuk menang Anda harus memecahkan rekor lap sejak awal dan kemudian menjaga kecepatan hingga finis. Supaya bisa seperti itu, Anda harus berlatih sangat keras, juga super fokus,” beber Rossi, dalam wawancara dengan Sport Rider.

The Doctor rela mengubah kebiasaan secara kontinyu. Latihan keras jadi menu kala jeda balapan. Pada akhir pekan kala tak ada jadwal balapan, pebalap yang identik dengan nomor 46 tersebut bakal menghabiskan waktu di ranch bersama anak-anak muda dari VR46 Academy dan sahabat-sahabatnya.

“Ini cara efektif untuk berlatih dan membantu saya tetap fit. Untuk tetep bertahan di level tertinggi, tak ada rahasia selain terus bekerja. Setelah beberapa waktu, gym mulai membosankan, jadi saya butuh menghabiskan waktu di atas motor. Pergi ke gym memang menyenangkan, tapi saya lebih suka mengendarai motor.”

Berdaptasi 

Sekali lagi, Rossi memang tahu benar bagaimana beradaptasi dengan perubahan. Dia tak pernah terlihat sebagai seseorang dari generasi tua yang kikuk memasuki zona masa kini. Untuk bertahan lama di level tertinggi, seorang pebalap dituntut terus-menerus merancang konsep bagaimana melaju lebih cepat. Setiap orang belajar dari orang lain tentang cara mengatrol kecepatan. Inilah salah satu kelebihan pria Italia yang lahir di Urbino tersebut. Dari waktu ke waktu dia mampu mengubah gaya membalapnya, menyesuaikan kondisi dan karakteristik motornya.

Salah satu contoh kemampuan andalnya dalam beradaptasi muncul pada musim 2008. Rossi memperkuat panji-panji Yamaha, dengan rekan setim Colin Edward. Meski memperkuat tim yang sama, Rossi dan Edward punya masukan berbeda kepada tim. Subjek perbedaan pendapat kedua pebalap terpusat pada pemilihan ban.

Edward menginginkan kerangka ban yang lentur dan ban lunak untuk mendukung gaya balapannya, yaitu berakselerasi cepat setelah pengereman yang agak terlambat, serta memanfaatkan tikungan-tikungan untuk berakselerasi. Sebaliknya, Rossi ingin kerangka ban yang kaku, supaya bisa stabil saat menikung. Ketika ditanya apakah pernah menjajal ban belakang Colin Edward, jawabannya singkat. “Motor melompat ke samping,” ujarnya. Pilihan Rossi terbukti tepat, motornya lebih kompetitif dibanding milik Edward.

Mirip Marquez

Kemampuan Rossi mengubah gaya membalapnya secara kontinu tak perlu diragukan. Buktinya gelar di berbagai kelas, mulai 125 cc, 250 cc, 500 cc, hingga MotoGP telah direngkuhnya. Namun, Rossi bukannya malaikat tanpa cela. Ada kalanya dia menyerah begitu saja pada tantangan yang terlalu sulit ditaklukkan. Petualangannya di Ducati pada musim 2011 dan 2012 berakhir mengenaskan. 

Pembalap Yamaha MotoGP Valentino Rossi (depan) saat beradu cepat dengan saingan terberatnya pembalap Honda Marc Marquez selama Grand Prix Inggris di sirkuit Silverstone (30/8/2015). Valentino Rossi finis pertama di seri ke-12 ini. (REUTERS/Darren Staples)

Menggeber motor Desmosedici, Rossi hanya sekali naik podium pada 2013 saat finis ketiga di Sirkuit Le Mans, Prancis. Pada musim berikutnya prestasinya meningkat sedikit, finis kedua di Le Mans dan San Marino.

Emoh terus terpuruk bersama Ducati, dia memutuskan kembali ke Yamaha pada 2013. Hasilnya tak seindah dan seinstan harapan. Pengoleksi sembilan gelar juara dunia di berbagai kelas itu hanya mendulang sekali kemenangan di Sirkuit Assen, Belanda.

Memasuki musim 2014, para penikmat MotoGP bisa melihat perubahan gaya membalapnya. Mirip seperti Marquez. “Saya banyak berkembang dibandingkan tahun lalu, terutama saat mengerem. Tahun lalu saya sangat kesulitan. Saya berusaha menggunakan roda dengan lebih baik, tanpa memaksa roda bekerja berlebihan,” ujar The Doctor membeberkan perubahan gaya membalapnya.

Di Jerez pada 2014, Rossi berkata, “Saya bisa mengerem 20 meter kemudian. Gearbox membuat motor lebih stabil, sehingga saya bisa mengerem lebih dalam. Saya benar-benar bisa menggunakan mesim rem untuk berhenti,” imbuhnya.

Beberapa waktu setelah itu, pria berusia 36 tahun itu kembali berkomentar. “Jika Anda ingin tetap berada di atas, Anda harus mengamati apa yang dilakukan pebalap tercepat. Saya mengamati dan berusaha memodifikasi posisi saya di atas motor. Memang agak mirip Marquez, tapi tidak persis. Kaki saya terlalu panjang untuk meniru gaya Marquez.”

Tak sembarang pebalap memiliki kemampuan analisis secermat dan setepat pebalap yang memulai debut di Grand Prix pada 1996 tersebut. Yang lebih penting, tak semua pebalap punya hasrat membalap sebesar Rossi. Pebalap yang sempat dijuluki Rossifumi tersebut membalap dengan segenap jiwanya. Rossi benar-benar menggilai balapan.

Determinasi 

Seusai memenangi seri MotoGP Silverstone pada 30 Agustus 2015, pertanyaan yang mungkin sudah puluhan atau ratusan kali didengarnya kembali dilontarkan para jurnalis. Apa resepnya bisa menjaga determinasi dan motivasi setelah memenangi hampir semua gelar yang diimpikan banyak orang?

Ekspresi Valentino Rossi setelah menjadi juara. (AP Photo/Vincent Jannink)

“Sangat sederhana. Saya menyukai apa yang saya lakukan dan saya menikmati hidup ini, travelling dan pergi dari satu tempat ke tempat lain. Tak ada rahasia, hanya itu.”

Boleh saja Rossi mengklaim tak punya rahasia mempertahankan kegemilangan selama hampir 20 tahun berkarier di kancah Grand Prix. Tapi, determinasi saja tak cukup. Kebugaran, kecerdikan dan kemauan untuk selalu beradaptasi tak bisa dipisahkan dari sosok Rossi. Berkat semua itu, Rossi mampu melakukan sesuatu yang tampaknya nyaris mustahil dicapai seorang pebalap yang sudah berusia 36 tahun: memimpin klasemen balapan dan tinggal selangkah lagi menjadi juara dunia untuk kali kesepuluh. 

Baca Juga: 

Jelang MotoGP Australia: Rossi Kembali Menatap Rekor Baru

Rossi Abaikan Kalkulasi Poin, Fokus Selalu Finis di Depan Lorenzo

Rossi atau Lorenzo? Ini Jawaban Para Legenda MotoGP Dunia

 

Video Populer

Foto Populer