Sukses


Mengenang Mbah Mad, Masseur Legendaris NIAC Mitra dan Persebaya

Bola.com, Surabaya - Persebaya Surabaya pernah memiliki sosok penting dalam tim bernama Mochammad Madrai. Pria yang akrab disapa Mbah Mad itu bukan seorang pemain atau pelatih. Namanya justru masyhur sebagai masseur alias tukang pijat.

Mbah Mad telah meninggal dunia pada 11 April 2021 lalu dalam usia 72 tahun. Hari ini, 10 Agustus, merupakan tanggal kelahirannya, atau tepat setahun saat dia memutuskan pensiun sebagai masseur.

Sebelum beliau meninggal dunia, Bola.com sempat berbincang dengan Mbah Mad mengenai sepak terjangnya di dunia sepak bola. Siapa sangka, pria kelahiran Surabaya itu mengawali kariernya sebagai pemain sebelum bekerja “di balik layar”.

Pria kelahiran 1948 itu memulai kariernya dengan bergabung bersama klub internal Persebaya Surabaya pada 1960-an sampai 1970-an. Mulanya bergabung dengan Assyabab (1966-1973) yang kemudian berlanjut ke Mitra Surabaya (1974-1976).

“Dulu kompetisi internal Persebaya itu tidak ada batasan usia. Jadi, banyak juga pemain senior yang masih main di internal, termasuk saya. Lahirnya NIAC Mitra itu kemudian jadi berkah,” ungkap pria berdarah Madura itu.

Mbah Mad sulit bersaing untuk menembus tim senior Persebaya. Maklum, tahun itu Bajul Ijo memiliki banyak pemain top seperti Rusdy Bahalwan, Soebodro, hingga Ruddy Keltjes yang menyumbang trofi Perserikatan 1978.

Pada 1978, Kota Surabaya memiliki klub baru selain Persebaya yang sudah berdiri sejak 1927. Klub itu bernama NIAC Mitra yang didirikan oleh Agustinus Wenas. Berbeda dengan Persebaya, NIAC Mitra berkiprah di Galatama (singkatan Liga Sepak Bola Utama).

Galatama merupakan kompetisi sepak bola semi profesional pertama yang muncul di Indonesia dan menjadi warna baru. Banyak pemain Persebaya Surabaya yang kemudian hijrah ke NIAC Mitra pada masa itu. “Saya kemudian dikontrak jadi pemain di NIAC Mitra pada 1978. Senang juga bisa main di kompetisi Galatama,” ujar Mbah Mad.

Video

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

Awal Kisah Jadi Masseur

Dari NIAC Mitra inilah bakat lain Mbah Mad muncul. Masih pada tahun yang sama, bintang NIAC Mitra, Djoko Malis, mengalami cedera engkel. Rupanya, Mbah Mad menjadi sosok yang mampu menyelesaikan hal ini.

“Djoko Malis sudah berobat ke banyak tempat, tapi tidak sembuh. Akhirnya dia minta tolong saya, siapa tahu biasa. Ternyata setelah saya yang memijat, dia malah sembuh,” kata Mbah Mad sambil tertawa.

Hal ini sontak membuat Wenas kaget. Sebab, manajemen klub dibuat pusing dengan cederanya Djoko Malis. NIAC Mitra kemudian menyodorkan kontrak kepada Mbah Mad sebagai pemain sekaligus masseur tim.

Hanya semusim jadi pemain, Mbah Mad kemudian hanya bertugas sebagai masseur sejak 1979. Bakat barunya ini memaksanya pensiun sebagai pemain pada usia 30 tahun, hanya setahun setelah dikontrak secara profesional.

Mbah Mad merupakan bagian integral NIAC Mitra yang turut menjuarai Galatama musim 1980-1982 dan 1982-1983. Jangan lupakan juga klub ini pernah menundukkan raksasa Inggris, Arsenal, dengan skor 2-0 pada 1983 dalam laga yang digelar di Surabaya.

“Itu satu prestasi yang membanggakan. Kami punya Fandi Ahmad dan David Lee dari Singapura. Mereka pemain yang bagus dan bisa memberi juara,” imbuh Mbah Mad.

Pada pertengahan 1980-an, Mbah Mad sempat diminta oleh Wenas untuk menangani tim junior NIAC Mitra. Dia belajar dari M. Basri, pelatih senior NIAC Mitra yang ikut membawa Persebaya menjadi kampiun Perserikatan 1978.

“Melatih SSB atau tim junior itu menyenangkan. Mereka manut dan bisa ikut instruksi. Beberapa pemain didikan saya itu seperti Mamak (Zein Al Hadad), terus ada Zamrawi juga. Saya pelajari dari Basri,” tutur Mbah Mad.

“Setelah itu ada beberapa SSB di Surabaya juga yang saya latih. Sempat juga ke Bangil, melatih Persekabpas (Pasuruan). Saya senang bisa membagikan ilmu,” imbuhnya.

Karier Mbah Mad sebagai masseur kemudian sempat terancam lantaran NIAC Mitra dibubarkan pada 1990. Namun, dia berkesempatan mendapat tugas yang sama pada 1996 dengan bergabung bersama Mitra Surabaya yang berkompetisi di Liga Indonesia 1996-1997.

3 dari 4 halaman

Loyalitas untuk Persebaya

Mbah Mad saat itu terpaksa melihat klub Surabaya lain yang dicintainya, Persebaya Surabaya, meraih prestasi gemilang dengan menjuarai kompetisi musim itu. Sayang, dia tidak menjadi bagian tim Bajul Ijo.

Pada 1999, kiprah Mbah Mad bersama Mitra Surabaya terhenti karena mendapat tawaran sebagai masseur pula di Persid Jember pada 2000. Hanya semusim di sana, dia kembali ke Surabaya, kali ini bersama Persebaya pada 2001.

“Pak Suroso (manajer Persebaya saat itu) meminta saya kembali ke Surabaya. Tentu saya sulit menolak karena Persebaya itu punya nilai penting buat saya. Meskipun tugas saya masseur, saya senang bisa dilibatkan,” ucapnya.

Sejak 2001, Mbah Mad menjaga kesetiaannya untuk klub kebanggaan Bonek tersebut. Dia baru memutuskan pensiun pada 2020 saat kesehatannya memang sudah menurun.

Tapi, rentang itu banyak sekali suka duka yang dialaminya. Dia memang bagian dari tim arahan Jacksen Tiago yang menjuarai Divisi Utama 2004. Jangan lupa bahwa Persebaya sempat diterpa dualisme pada 2011-2015.

Saat itu, Persebaya yang asli tidak diakui oleh PSSI dan digantikan dengan tim bernama sama yang mengambil pemain Persikubar Kutai Barat. Loyalitas pemain dan pelatih diuji dan banyak yang memilih hijrah.

“Saya juga ditawari pindah. Tapi, hati saya tidak sreg. Saya tetap memilih di Persebaya yang ini saja. Klub yang ini sudah banyak memberi saya pelajaran penting,” ungkapnya.

Klub “saingan” Persebaya itu kini telah menjadi Bhayangkara FC. Persebaya baru kembali diakui kembali sebagai anggota PSSI pada awal 2017. Mbah Mad pun meraih trofi bersama anak-anak muda yang menjuarai Liga 2 2017.

4 dari 4 halaman

Keahlian Otodidak

Dengan selama 40 tahun lebih menjadi masseur, apakah Mbah Mad tidak pernah mempelajarinya di pendidikan formal dalam memijat pesepak bola?

“Tidak pernah. Ini kemampuan yang diberikan langsung dari Gusti Allah. Kalau ada yang menyuruh saya belajar atau ambil kursus, saya balik. Harusnya kalian yang berguru kepada saya. Saya sudah sejak 1978 jadi tukang pijat pemain.” kelakarnya sambil tertawa.

Satu keunikan Mbah Mad adalah memijat pemain dengan menggunakan sabun mandi. Ya, cara ini terbilang aneh dan tidak umum. Biasanya sabun itu diberi sedikit air sebelumnya dijadikan olesan memijat.

“Kalau pakai lotion begitu sudah umum, kebanyakan tukang pijat juga biasanya pakai itu. Saya pakai sabun mandi, untuk pelicin saja. Pemain juga senang karena mereka bilang lebih terasa,” ucapnya.

Atas kemampuan itulah Mbah Mad enggan berkarier sebagai pelatih profesional. Dia ingin menjalin kedekatan sebagai pemain sebagai tukang pijat. Ditambah, sosoknya yang humoris juga makin menambah warna dalam tim.

Sosok Mbah Mad sudah tidak ada lagi di Persebaya Surabaya. Banyak pemain Bajul Ijo yang punya kedekatan dengannya, baik lokal maupun asing, seperti Raphael Maitimo, Osvaldo Haay, David da Silva, Rachmat Irianto, hingga Hansamu Yama.

Mbah Mad kini sudah tenang di alam yang berbeda. Selamat ulang tahun, Mbah Mad. Kedamaian menyertaimu.

Video Populer

Foto Populer