Sukses


Memori Kelam Liga Indonesia Akibat Krisis Moneter 1998: Menghilangnya Tim-Tim Galatama dan Maraknya Mafia Wasit

Bola.com, Jakarta - Peristiwa krisis moneter (Krismon) tahun 1998 memaksa Liga Indonesia berhenti ditengah jalan. Masa kelam itu berdampak sangat besar. Kasus mafia wasit hingga 'menghilangnya' tim-tim Galatama menambah gelap persepakbolaan Tanah Air.

Pada akhir 1997, Asia mengalami krisis keuangan yang parah. Indonesia, meski waswas, sebetulnya dalam kondisi yang stabil pada pertengahan tahun tersebut, bisa jadi saat itu merupakan salah satu periode ekonomi paling baik, sebab nilai inflasi rendah, ekspor lancar dan surplus, layaknya orang yang positif virus corona, seperti tidak ada gejala akan ambruk.

Namun, segalanya berubah tiba-tiba. Pasar bergejolak karena adanya peningkatan harga barang yang melonjak ekstrem. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat meroket. Kekacauan melanda masyarakat. Banyak aspek yang terkena dampak, termasuk olahraga, tentunya Liga Indonesia.

Kompetisi sepak bola Indonesia akhirnya berhenti total pada tahun 1998. Kerusuhan massa akibat krisis moneter, berjalan serempak di berbagai daerah di Indonesia, membuat negara dalam keadaan kacau.

Liga Indonesia (Ligina) edisi keempat yang sedang melewati setengah perjalanan harus terhenti dengan status force majeur. Kompetisi yang bernama resmi Liga Kansas itu masih berada di fase grup, di mana operator liga masih membagi kompetisi menjadi tiga wilayah.

Ketika itu, Ligina 1997-1998 diikuti oleh 31 tim. Sepak bola Indonesia juga sedang hangat-hangatnya menyusul penampilan apik Timnas Merah Putih di ajang Piala Asia 1997. Gol sensasional Widodo C. Putro seakan membakar animo masyarakat untuk menyaksikan laga-laga sepak bola Indonesia.

Tim-tim seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Persipura Jayapura, Pelita Jaya Jakarta, dan PSM Makassar saat itu sedang 'nyayur' karena penampilan apik sepanjang Ligina 1997-1998. Apa daya, krisis yang terjadi di Indonesia membuat Panglima ABRI Jenderal Wiranto kala itu memerintahkan untuk menghentikan kompetisi akibat alasan keamanan.

Mantan pesepak bola nasional, Agung Setyabudi, menjadi saksi hidup matinya sepak bola Indonesia karena penghentian kompetisi. Eks pemain Arseto Solo itu mencoba menceritakan apa yang dirasakannya nyaris 22 tahun silam.

"Dulu dihentikan cukup lama, lebih dari enam bulan kalau tidak salah. Ya bosan juga, jenuh, mau kerja apa karena hidupnya dari sepak bola," terangnya kepada Bola.com, Selasa (31/3/2020).

Karena penghentian Ligina itu juga, banyak pemain sepak bola yang akhirnya terjun ke pertandingan tarkam (antar kampung). Bahkan pemain sekelas Robby Darwis pun pernah tampil di tarkam. Agung Setiabudi juga mengaku terpaksa mengikuti liga tarkam demi mendapatkan pendapatan.

"Waktu itu saya belum berkeluarga. Bagaimana dengan pemain lain yang sudah berkeluarga menghidupi anak istrinya," ungkap Agung.

"Untungnya waktu itu masih ada tarkam yang bisa menjadi sumber penghidupan. Lumayan seminggu bisa tiga kali bertanding. Bedanya untuk sekarang ini benar-benar tidak boleh ada kerumunan," imbuh eks kapten Timnas Indonesia.

Masalah utamanya adalah ketika PT Cipta Citra yang menaungi rokok Dunhill dan Kansas mengundurkan diri dari kerja sama sponsorship dengan PSSI yang seharusnya berlangsung delapan musim. Penggerak Liga Indonesia pun kelimpungan mencari aliran dana guna menjalankan roda kompetisi.

"Kami tak lagi di-support pihak Dunhill dan Kansas, dan kami kesulitan mendapatkan sponsor baru," ujar Direktur Utama PT Cipta Citra Sports, Jeanette Sudjunadi, yang menjadi konsultan bisnis PSSI saat itu.

 

Video

2 dari 4 halaman

Beberapa Daerah Mencekam, Tim-Tim Galatama Bertumbangan

Mengutip Harian Kompas dan Tabloid Bola, Kapolda Jatim Mayjen (Pol) M. Dayat membatalkan pertandingan antara Persebaya Vs PSBL Bandarlampung 13 Mei 1998, karena situasi keamanan di Surabaya yang mencekam.

Berikutnya, Arema Malang Vs Semen Padang di Stadion Gajayana Malang, serta di Gresik Petrokimia Vs PSM Makassar juga gagal digelar karena alasan yang sama. Di Yogyakarta partai PSIM Yogyakarta kontra PSMS Medan yang digelar Minggu, 17 Mei juga dibatalkan.

Agung Setyabudi juga masih ingat betul kejadian pertandingan terakhir yang berujung kerusuhan massa saat Arseto melawan Pelita Jaya Jakarta di Stadion Sriwedari.

Beberapa hari berselang, kerusuhan merembet membuat kota Solo seperti luluh lantak, karena aksi pembakaran dan penjarahan. Kemudian tim yang dibelanya membubarkan diri, dan ia pun hengkang ke PSIS Semarang, setahun kemudian.

Aksi serupa terjadi juga di Bandung, Jawa Barat. Batalnya laga Persib kontra PSIS Semarang di Stadion Siliwangi berujung pada aksi demonstrasi bobotoh. Mereka bersatu dengan elemen masyarakat lain di Gedung Sate, tempat ikonis di ibukota Jawa Bawat tersebut.

Kondisi tak menentu di Indonesia membuat beberapa klub, terutama eks Galatama, kalang kabut. Sebab, mereka merupakan tim mandiri yang roda ekonominya tidak bergantung pada pemerintah.

Bicara soal Liga Indonesia 1997-1998, musim tersebut memang banjir persoalan. Kompetisi diawali dengan tidak ikut sertanya dua klub eks Galatama, Bandung Raya dan Assyabaab Surabaya, yang bangkrut.

Nugraha Besoes, Sekjen PSSI saat itu menyebut federasi tak bisa berbuat apa-apa dengan mundurnya kedua klub. "Mereka memang tak punya uang buat ikut kompetisi, enggak mungkin dipaksa," kata Nugraha.

Semusim pasca penghentian Ligina 1997-1998, selain Bandung Raya, dua tim Galatama lainnya, yakni Arseto Solo dan Niac Mitra juga tidak mengikuti Ligina V atau Ligina 1998-1999. Persoalannya klasik, masalah finansial.

 

3 dari 4 halaman

Berujung pada Maraknya Kasus Mafia Wasit

Kasus pengrusakan barang bukti pengaturan skor melibatkan Joko Driyono, hanya salah satu kasus yang sempat menghebohkan dunia sepak bola Indonesia. Jauh sebelumnya Liga Indonesia pernah dihebohkan skandal besar mafia wasit. Tepatnya pada musim 1997-1998.

Rakernas PSSI yang dilaksanakan Februari 1998 dihebohkan dengan pernyataan yang dilontarkan Manajer Persikab Kab. Bandung, Endang Sobarna, tentang adanya permainan kotor di pentas Liga Indonesia yang melibatkan wasit.

Ketua Umum PSSI saat itu, Azwar Anas langsung membentuk tim pencari fakta untuk mengusut tuntas kasus mafia wasit. PSSI lantas menghukum Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI, Djafar Umar, dengan sanksi seumur hidup tak boleh terlibat di sepak bola nasional. Djafar terbukti terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan dengan melibatkan korps pengadil di lapangan.

Sebanyak 40 wasit Tanah Air juga masuk gerbong terdakwa dalam kasus match fixing. Beberapa di antaranya macam Khairul Agil, R. Pracoyo, Halik Jiro, terhitung sebagai figur top yang sering memimpin laga-laga besar Liga Indonesia.

Sosok almarhum Djafar Umar, yang berstatus sebagai wasit FIFA sejak lama diisukan jadi The Godfather mafia wasit. Ia dipergunjingkan menerima upeti dari para pengadil yang bertugas di pentas kompetisi profesional dan amatir.

Tabloid Bola saat itu pernah melakukan investigasi untuk mencari tahu modus setoran mafia wasit. Didapat fakta ada oknum yang punya otoritas di bidang perwasitan meminta dana dengan jumlah tertentu. Didapat nomor rekening 4541-79000-2073-5704 (Citibank) yang mengarah pada sosok Djafar Umar.

Djafar tak hanya sering meminta uang ke klub, tapi juga para wasit yang ingin naik pangkat atau dapat penugasan dari PSSI. Angkanya menembus Rp2 juta.

"Oknum ini mewajibkan kami membayar punggutan liar Rp2 juta untuk ikut tes wasit FIFA di Malaysia. Saya bayar satu juta, yang akan dilunasi sisanya setelah kursus selesai," aku Totok Purwanto, wasit asal Jakarta.

Adang Ruchiatna, yang didapuk sebagai Tim Penanggulangan Masalah Perwasitan, sempat melaporkan kasus Jafar dkk. ke Polda Metro Jaya. Hanya saja pengusutan kasus di jalur hukum terhenti begitu Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi.

Dari hasil penyelidikan yang mencoreng wajah sepakbola nasional selama sebulan, diputuskan PSSI mengambil tindakan tegas dengan mengganjar hukuman 20 tahun kepada Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI, Djafar Umar dan memberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya, menyusul kasus kolusi wasit yang terkuak dalam tiga pekan terakhir ini.

 

4 dari 4 halaman

Pengakuan Djafar

Pada tahun 2005, wartawan senior Bola.com sempat berjumpa dengan almarhum Djafar Umar, untuk mencoba mengorek kehidupan masa lalunya.

Semenjak dihukum skorsing selama 20 tahun, hidup Djafar benar-benar susah. Untuk membiayai hidupnya sehari-hari ia kerap meminta bantuan pengurus PSSI yang tetap mau menjadi sahabatnya usai terungkapnya kasus menghebohkan pada 1998 silam.

"Sedih saya kalau mengingat masa-masa itu. Saya ini siapa bisa mengatur kompetisi sebesar itu? Tapi saya bisa bilang apa? Saya diserang kanan-kiri sehingga tak berdaya," katanya.

Djafar membenarkan kalau dirinya kerap mendapat sesuatu dari para wasit. "Tapi itu bukan setoran yang ada kaitannya dengan pengaturan pertandingan. Itu bentuk terimakasih mereka kepada saya, karena merasa saya tunjuk sebagai wasit pemimpin pertandingan. Saya sendiri sering menolak, tapi mereka memaksa. Enggak ada embel-embel apa, murni hanya ucapan terimakasih ala orang Timur," tutur pria asal Makassar itu.

Yang bersangkutan tak menampik kalau memang ada pengaturan skor di Liga Indonesia. "Tapi saya tidak terlibat. Ada banyak oknum pengurus PSSI terlibat. Kalau saya bongkar bakal bikin heboh. Saya pribadi pasrah saja, dengan hukuman skorsing yang saya terima. Saya dikambinghitamkan. Tapi saat itu siapa yang mau mendengar suara saya? Saya sudah dihukum lewat pemberitaan media," papar Djafar.

Video Populer

Foto Populer