Sukses


114 Tahun Real Madrid dan Tradisi Penguasa Spanyol

Bola.com — Eso no hubiera pasado en tiempos de Franco, os juro! (Ini tidak pernah akan terjadi pada era Franco, saya bisa memastikan hal itu!). Pernyataan tersebut diungkapkan salah satu suporter Real Madrid ketika menyaksikan Los Blancos takluk 1-5 dari Real Zaragoza di Santiago Bernabeu, 4 Desember 1999.

Ketika itu hasil melawan Zaragoza adalah kekalahan kandang terbesar Madrid dalam 25 tahun terakhir. Ribuan suporter kemudian melakukan demonstrasi setelah Madrid terancam ke papan bawah klasemen. Beberapa di antaranya mengaku khawatir, Madrid akan terus terpuruk dan untuk pertama kalinya dalam sejarah terdegradasi.

Kalah dan menang sejatinya bukan hal serius dalam sepak bola. Namun, bagi Madrid, kalah dan menang bukan sekadar menentukan prestasi di lapangan hijau, melainkan juga berkaitan dengan martabat, gengsi sejarah, bahkan merasuk sampai ke urusan nasionalisme negara. 

Hal di atas jelas tidak bisa dilepaskan dari besarnya pengaruh Jenderal Franco, pemimpin Spanyol pada era 1939 hingga 1978. Berkat diktator bernama lengkap Francisco Franco itu rivalitas paling kelam antara Madrid dan Barcelona sejak puluhan tahun lalu tetap terjaga.

Madrid awalnya merupakan kelompok pelajar Institucion Libre de Ensenanza yang gemar bermain sepak bola. Mereka mendirikan Football Club Sky yang kemudian pecah menjadi New Foot-Ball de Madrid dan Madrid Football Club. Pada 1902, Madrid FC menunjuk Juan Padros sebagai presiden klub.

Skuat Real Madrid pada 1905. (Real Madrid).

Kala itu, sepak bola mulai menjamur dalam kehidupan sosial masyarakat Spanyol. Beberapa klub sepak bola didirikan. Juan Pardos lalu mengajukan permohonan kepada Gubernur Madrid, Alberto Aguilera, untuk menyelenggarakan turnamen untuk menghormati Raja Alfonso XIII.

Pada 1905, Madrid Football Club sukses menjadi juara. Berkat keberhasilan itulah, Raja Alfonso XIII memberikan nama kehormatan Real (Royal) kepada Madrid Football Club pada 1920.

Sembilan tahun berselang, kompetisi resmi La Liga Spanyol pun dibentuk dengan diikuti 10 klub. Real Madrid Football Club memiliki peranan besar lantaran Presiden Madrid, Adolfo Melendez, menjadi salah satu founding fathers Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) pada 4 Januari 1909.

Franco
Periode 1930-an, menjadi titik balik perjalanan Madrid. Perang saudara kala itu sedang berkecamuk. Jenderal Franco muncul sebagai pemimpin kaum nasionalis, sementara lawan politiknya yang berasal dari kaum loyalis, Manuel Azana, ingin mendirikan Republik Spanyol Kedua.

Di tengah situasi perang, beberapa cabang olahraga, termasuk sepak bola kerap dijadikan alat politik. Richard Fitzpatrick dalam karyanya El Clasico: Barcelona vs Real Madrid: Football's Greatest History (2012), mengungkapan, Franco "berperan" saat Madrid menggiling Barcelona 11-1 pada 13 Juni 1943 di ajang Copa del Generalísimo.

Halaman utama Marca memberitakan kekalahan 1-11 Barcelona dari Real Madrid pada 13 Juni 1943 di ajang Copa del Generalísimo. (Sofascore).

Anggapan klub fasis pun disematkan kepada Madrid, sementara Barcelona dianggap sebagai simbol demokrasi lantaran rakyat Catalunya ingin merdeka. Situasi kala itu sangat kelam. Sempat pula terjadi peristiwa White Terror, yang menurut sumber sejarah, memakan korban jiwa hingga puluhan ribu anggota anti-Franco. 

"Perang Spanyol masih berada ada di sana. Aromanya memang sudah sedikit hilang, tetapi ketika saya kecil, bahkan hingga era 1970-an, meski Anda tidak tahu apa yang terjadi, ada perasaan: Apa yang sedang terjadi di sini," ujar Carlos Ruiz Zafon, salah satu penulis kelahiran Barcelona, mengenang rivalitas El Clasico.

Di tengah situasi tersebut, Franco justru makin "mencintai" Madrid lantaran Los Merengues terus berprestasi. Bukan hanya di Spanyol, melainkan juga di Eropa. Apalagi kala Madrid menjadi klub pertama yang meraih trofi European Cup—sekarang Liga Champions—pada 1956.

Foto kiri: Dua legenda Real Madrid, Alfredo Stefano (kiri) dan Ferenc Puskas (kanan) pada laga final Liga Champions 1960. Foto kanan: Kapten Real Madrid, Miguel Munoz memberikan trofi Liga Champions kepada Jenderal Franco pada 1957. (Daily Mail).

Madrid mengalahkan klub Prancis, Stade de Reims di Paris. Skor berakhir 4-3. Sejak itu, skuat Los Blancos mampu empat kali mempertahankan gelar juara beruntun untuk menjadi juara lima kali berturut-turut hingga 1960. Tak ada klub yang bisa menyamai prestasi tersebut.

Berkat kesuksesan di kompetisi domestik dan Eropa, nama Madrid makin mendunia. Madrid pun mulai doyan mengumpulkan pemain-pemain bintang, mulai dari era Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Amancio Amaro, Emilio Butragueno, Luis Figo, Zinedine Zidane, hingga Cristiano Ronaldo.

Tim beli jadi
Sejak era 1970 hingga millennium, Madrid menjadi rumah impian bagi para pesepak bola dunia. Namun, perlahan muncul stigma "tim beli jadi" ketika beberapa bintang, seperti Zinedine Zidane, Luis Figo, Ronaldo, Kaka, David Beckham, Cristiano Ronaldo, hingga Gareth Bale datang.

Presiden Real Madrid, Florentino Perez (tengah) bersama para legenda Los Galacticos. Dari kiri ke kanan: David Beckham, Luis Figo, Zinedine Zidane, dan Ronaldo Luís Nazário de Lima. (Real Madrid).

Di balik gelontoran besar pun terselip masalah yang sejak puluhan tahun lalu belum terselesaikan hingga sekarang. Ibaratnya, bersama para bintang, Madrid terkesan hanya ingin berprestasi secara instan. Jika gagal, siap-siap saja pelatih yang bertugas harus bersedia meletakkan jabatan.

Semenjak era Miguel Munoz pada akhir 1950-an, belum ada pelatih Madrid yang mampu bertahan lebih dari tiga setengah tahun selama lebih dari empat dekade. Belum ada pula pelatih yang bertahan selama semusim jika gagal memberikan satu gelar pun bagi skuat Los Blancos.

Ambil contoh setelah Vicente Del Bosque berkarier di Santiago Bernabeu pada 1999 hingga 2003. Setelah berhasil mempersembahkan 2 trofi Liga Champions, 2 La Liga, 1 Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, dan Piala Intercontinental, kontraknya justru tidak diperpanjang.

Sejak itu, tercatat Madrid berganti pelatih puluhan kali. Dimulai era Carlos Queiroz yang dibuang setelah hanya menjalani 58 laga, Jose Camacho (6 laga), Mariano Remon (20), Vanderlei Luxemburgo (45), Juan Ramon Lopez Caro (24), Fabio Capello (50), Bernd Schuster (75), Juande Ramos (27), Manuel Pellegrini (48), Jose Mourinho (178), Carlo Ancelotti (119), Rafael Benitez (25).

Pascaera Munoz, pemutusan kontrak Ancelotti dianggap sebagai salah satu penyebab utama menurunnya performa Madrid saat ini. Pelatih asal Italia itu padahal mampu mempersembahkan La Decima (gelar Liga Champions ke-10) Madrid , Copa del Rey, Piala Eropa, dan Piala Dunia Antarklub pada 2014.

4 Pelatih Terakhir Real Madrid (bola.com/Rudi Riana).

Sayangnya, Ancelotti gagal memberikan satu gelar pun pada musim 2014-15. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan utama Presiden Florentino Perez memecat mantan pelatih AC Milan tersebut. Alhasil, beberapa pemain Los Blancos dikabarkan kecewa.

Ronaldo, misalnya, yang tidak mengerti mengapa Madrid sering gegabah memecat pelatih. Saat Rafael Benitez ditunjuk sebagai arsitek anyar, Ronaldo bahkan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Ini pun menjadi bukti ego para pemain Madrid memang tinggi.

Alhasil, permainan Madrid tidak berkembang. Suasana ruang ganti yang dikabarkan tidak harmonis membuat permainan Madrid tak lagi manis. Hasil 2-2 melawan Valencia di Mestalla, 4 Januari lalu, membuat Benitez harus mengakhiri tugas lebih cepat. Baru tujuh bulan menjabat, ia langsung dipecat.

Tradisi
Tugas berat kini diemban Zidane yang ditunjuk sebagai penerus Benitez. Pelatih asal Prancis itu awalnya dianggap sebagai sosok tepat melatih Los Galacticos. Alasannya karena Zidane dianggap memiliki karisma nan menawan. Dia juga merupakan salah satu legenda di Bernabeu.

 Statistik Zinedine Zidane di Real Madrid (bola.com/Rudi Riana).

Meski mengawali laga perdana dengan baik, karier Zidane diprediksi tidak akan berjalan mulus. Dari 11 pertandingan, ia memang meraih delapan kali kemenangan, dua kali imbang, dan baru satu kali kalah. Namun, PR terbesar Zidane bukan saja mencari gelar juara, melainkan juga membina ego para pemainnya.

Belum lagi, suporter Madrid terkenal "ganas" jika klub kesayangannya meraih hasil mengecewakan. Ketika Madrid takluk 0-1 dari Atletico di Bernabeu, misalnya, mereka langsung memberikan tekanan kepada Zidane. Maklum, kekalahan itu dianggap telah menutup peluang Madrid menjuarai liga.

Para pemain Real Madrid beserta pelatih, ofisial, dan Presiden Florentino Perez berfoto bersama. (Real Madrid).

Suporter Madrid memang sulit membayangkan jika tidak menggelar perayaan juara tiap musim. Pemikiran itulah yang bisa jadi mengilhami Ronaldo saat mengeluarkan pernyataan kontroversial, "Andai saja semua pemain selevel saya, Madrid mungkin akan memuncaki klasemen."

Pernyataan Ronaldo memang terkesan ambisius. Namun, komentar itu jelas menggambarkan tradisi Madrid yang tepat pada hari ini merayakan ulang tahun ke-114. Toh, selama ratusan tahun tradisi itu telah tertanam pula dalam karakter beberapa penguasa Spanyol, salah satunya Jenderal Franco.

Feliz Cumpleanos, Real Madrid!

Sumber: Berbagai sumber

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, Liga Italia, dan Liga Prancis dengan kualitas HD di sini

Video Populer

Foto Populer